Bismillah,,,,,
I. PENDAHULUAN
Al-qur’an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia ke arah tujuan yang terang dan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah.

Al-qur’an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia ke arah tujuan yang terang dan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimanan kepada Allah.
Setiap lafadz
yang ada dalam al-Qur’an dikehendaki oleh Allah SWT keberadaannya, karena ada
berbagai manfaat yang kadangkala diketahui dan tidak diketahui oleh pembacanya.
Sebagaimana
kita maklumi bersama bahwa sebagian dari teks al-Qur’an kadang-kadang datang
dengan makna muthlak yang menunjuk kepada satu objek yang bersifat umum, tanpa
dibatasi oleh sifat atau syarat tertentu, namun di sisi lain ia datang sebagai
muqayyad terhadap makna yang muthlaq tersebut. Dengan kata lain, teks yang
datang secara muthlak terkadang mengandung sesuatu yang membatasi kemutlakannya
dalam teks lain.
II.
RUMUSAN MASALAH
A.
Apa yang di maksud pada kaidah dua puluh enam dalam Al-Qowaid Al
Hisan Li Al Tafsir ?
III.
PEMBAHASAN
A.
Kaidah dua puluh enam dalam Al-Qowaid Al Hisan Li Al Tafsir
Dalam kaidah
dua puluh enam menyebutkan bahwa ayat-ayat yang ada batasannya (quyud) tidak
berlaku hukumnya tanpa terwujudnya batasan-batasan itu, kecuali pada beberapa
ayat.
Jika Allah SWT
menjelaskan suatu hukum yang diikat dengan suatu pengikat (batasan), atau
disyaratkan dengan suatu syarat, hukum itu bergantung kepadanya.
Namun yang akan
kita bahas disini adalah perkecualian dari kaidah asal itu, yang sering
dikatakan oleh ahli Tafsir. “ Ini adalah pengikat yang tidak di maksudkan. “
ungkapan ini perlu di perjelas.
Setiap lafadz
yang ada dalam al-Qur’an dikehendaki oleh Allah SWT keberadaannya, karena ada
berbagai manfaat yang kadangkala diketahui dan tidak diketahui oleh pembacanya.
Namun yang dimaksud oleh ungkapan ahli Tafsir di atas adalah bahwa ketetapan
hukum tidak berlaku dengannya (adanya batasan / pengikat itu).
Allah SWT
menentukan hukum agama secara tegas, terdiri dari pokok dan cabang agar jelas
kebaikannya, jika ia merupakan suatu perintah, dan jelas keburukannya, jika ia
merupakan suatu larangan. Jika merenungkan ayat-ayat berikut ini, permasalahan
tersebut akan menjadi jelas.
Allah berfirman
:
ومن يدع مع
الّله إلها آخر لا برهان له به
Artinya: Dan barang siapa menyembah Tuhan yang lain selain Allah,
padahal tidak ada suatu bukti pun baginya tentang itu. (Q.S
Al-Mu’minun:117).
Barang siapa
menyembah selain Allah dan menyekutukan-Nya dengan yang lain, orang itu
termasuk kafir, tidak ada baginya alasan sedikit pun. Allah SWT mengikat ayat
diatas dengan pengikat tadi, sebagai penjelasan betapa jelek dan dan buruknya
orang yang syirik dan orang yang melakukannya. Sedangkan syirik dan orang
musyrik tidak mempunyai bukti sedikitpun untuk di benarkan, baik secara akal
maupun agama.
Jadi, pengikat
itu merupakan suatu penghinaan yang sungguh-sungguh terhadap orang-orang yang
menyekutukan Allah yang di sebabkan oleh kebodohan, kedunguan, dan keengganan
menerima bukti-bukti yang relevan dengan akal dan syari’at. Mereka hanya
memiliki tujuan yang tidak baik, dan fanatik buta seperti binatang, jika mereka
memperhatikan ajaran agamaa sedikit saja, niscaya mereka akan tahu bahwa
perbuatan mereka itu tidak dapat diterima oleh orang, bahkan orang-orang yang
paling rendah sekalipun.[1]
Allah SWT
berfirman:
حرّمت عليكم
امّهتكم... وربا ئبكم اللا تى فى حجوركم من نسائكم اللا تى دخلتم بهن
Artinya:Di haramkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu...dan anak-anak istrimu
yang dalam pemeliharaanmu dari istri yang telah kamu campuri. (Q.S An-Nisa’: 23).
Larangan
mengawini anak tiri dengan keadaan di bawah pemeliharaan seorang ayah tiri sama
sekali tidak berhubungan dengan diperbolehkan mengawininya. Seorang laki-laki
secara mutlak haram mengawini anak tirinya, baik anak itu berada dalam
pemeliharaannya ataupun tidak. Penyebutan kaitan tersebut adalah untuk
menegaskan betapa keji tindakan seorang ayah tiri yang mengawini anak tirinya
yang kedudukannya sama dengan ibu kandungnya. Mengawini hanya dibenarkan, jika
seorang laki-laki yang menjadi suami anak tiri tersebut belum dukhul (campur)
dengan istrinya yang merupakan ibu anak tersebut dan telah menceraikannya. Hal
ini ditegaskan pada lanjutan ayat tersebut:
فإن لّم تكونوا دخلتم بهنّ فلا جناح عليكم
Artinya: Tetapi jika kamu belum campur dengan istrimu itu (dan
sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu mengawininya.[2]
Pada ayat lain Allah SWT berfirman:
ولا تقتلوا أولادكم من خشية إملاققلى نحن نرزقكم وايّا هم
Artinya: Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena takut
kemiskinan. (Q.S Al-An’am: 151).
Pada ayat ini,
pembunuhan terhadap anak dikaitkan dengan takut kemiskinan. Padahal sudah
dimaklumi bahwa membunuh anak tidak diperbolehkan dalam kondisi apapun. Maka
disebutkannya keadaan ini sebagai penegasan bahwa perbuatan itu sangat jahat,
yaitu pembunuhan terhadap manusia yang sangat membutuhkan kasih sayang yang
tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pembunuhan itu juga termasuk suatu bentuk
pelampiasan hawa nafsu, kemarahan terhadap takdir Allah SWT dan prasangka
buruk. Jadi orang-orang yang membunuh anak-anak mereka karena takut kemiskinan,
pada hakekatnya telah membunuh mereka karena tidak rela atas takdir Allah,
bosan dengan dengan kemiskinan dan beranggapan jika mereka membiarkan anak-anak
tersebut tetap hidup, akan menambah beban[3].
Padahal di sini Allah memberi jaminan dengan menyatakan bahwa kami akan memberi rezeki kepada kamu,
baru kemudian dilanjutkan dengan jaminan ketersediaan rezeki untuk anak
yang dilahirkan, yakni melalui lanjutan ayat itu dan kepada mereka,
yakni anak-anak mereka.[4]
Ayat di atas
juga berarti bahwa jika pembunuhan terhadap anak-anak tidak diperbolehkan dalam
keadaan seperti itu karena di dorong oleh ketakutan pada kemiskinan, maka tentu
lebih di larang lagi dalam kondisi lapang dan kaya raya.
Ayat diatas
juga menjelaskan kebiasaan manusia dalam menjalani kehidupan. Karenanya,
mengangkat kebiasaan dan fakta yang terjadi dalam menjelaskan sesuatu, akan
lebih memperjelas dan mengena.
Adapun
keterangan Allah tentang ruju’ adalah sebagai berikut:
وبعولتهنّ احقّ
بردهنّ فى ذلك إن ارادوا إصلا حا
Artinya: Dan suami-suaminya lebih berhak merujukinya dalam masa menanti
itu (iddah) jika mereka (para suami) menghendaki ishlah (perdamaian). (Q.S.
Al-Baqarah:228).
Diantara Ulama
ada yang berpendapat bahwa suami berhak merujuki istrinya, baik karena ingin
perdamaian (ishlah) atau tidak. Karenanya, pengikat (yang terdapat pada ayat
itu) adalah sebagai anjuran untuk mematuhi ketentuan Allah SWT yang berupa niat
ishlah, dan larangan merujuki atau mengawininya kembali dengan niat menyakiti,
sekalipun suaminya itu berhak merujukinya, seperti pada firman Allah SWT:
فامسكوهنّ
بمعروف أو سرحوهنّ بمعروف
Artinya: ...Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau
ceraikan-lah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula). (Q.S. Al-Baqarah: 231).
Sebagian ulama
menjadikan pengikat (qaid) ini berlaku sebagai ketentuan umum, sehingga dikatakan,
suami tidak berhak untuk merujuki istrinya dalam masa ‘iddah (menanti) kecuali
jika dia menginginkan ishlah. Adapun kalau dia tidak menghendaki hal itu, maka
suami tidak boleh (tidak berhak) untuk merujukinya. Pendapat inilah yang benar.
Demikian juga
dengtan firman Allah SWT:
وإذا ضربتم فى الأرض فليس عليكم جناح أن تقصروا من الصّلاة إن خفتم أن
يفتنكم الّلذين كفرواج
Artinya: Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah
mengapa kamu meng-qashar (memendekkan) shalatmu, jika kamu takut diserang oleh
orang-orang kafir. (Q.S. An-nisa’: 101).
Padahal takut
itu bukanlah menjadi syarat sahnya mengqashar shalat, dan semua orang sepakat
bahwa mengqashar shalat itu disyari’atkan ketika Rasulullah SAW ditanya tentang
itu, kemudian beliau menjawab:
صدقة تصدّق
الّله بها عليكم فاقبلوا صد قته
Ia adalah sedekah Allah SWT kepadamu, maka terimalah sedekah-Nya.
(al-Hadits).
Yang dimaksud
dengan sedekah Allah adalah kebaikan-Nya pada setiap waktu dan tempat, tidak
mesti dalam keadaan takut dan lain sebagainya.
Sebagian Ulama
ada yang berpendapat bahwa syarat ini termasuk hukum asal (hukum pokok), dan
mengqashar yang sempurna adalah dengan mengqashar bilangan, rukun dan cara
(hai’at), dan disyaratkan berhimpunnya keadaan musafir (bepergian jauh) dan
kondisi takut,, seperti yang tampak pada zahir ayat itu. Jika hanya ada rasa
takut, bilangan shalat tidak diqashar. Namun yang diqashar hanya cara dan
sifat-sifatnya. Demikian juga jika hanya ada kondisi mufassir saja, maka cara
cara dan syarat-syaratnya tidak diqashar, dan yang diqashar hanya bilangannya
saja. Dan ini tidak bertentangan dengan sabda Nabi SAW, karena para sahabat
hanya menanyakan tentang diqasharnya bilangan saja, sehingga Nabi menjelaskan
kepada mereka bahwa keringanan berlaku umum pada setiap kondisi.
Ini pendapat
yang paling baik, sesuai dengan zahir ayat, dan tidak bertentangan dengan
hadits Rasulullah SAW. oleh karenanya dapat dijadika pegangan. [5]
IV.
KESIMPULAN
Pada
prinsipnya, semua ayat Al-qur’an yang di dalamnya memuat berbagai persyaratan
atau kaitan keadaan (quyud), maka hukum-hukumnya tidak berlaku, kecuali jika
dalam kasus yang hendak ditentukan hukumnya itu terdapat persyaratan atau
kaitan keadaan tersebut.
V.
PENUTUP
Demikian
makalah yang dapat kami sampaikan, tentunya masih banyak kesalahan dan
kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat
diharapkan guna perbaikan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
As-sa’di, Abdurrahman Nashir, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an,
Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997.
Dahlan, Abd. Rahman, Kaidah-kaidah Tafsir, Jakarta: Amzah,
2010.
Shihab, Quraish, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati, 2002.
[1] Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 92-93
[2] Abd. Rahman Dahlan, Kaidah-Kaidah Tafsir, (Jakarta: AMZAH,
2010), hal 85-86.
[3]Syaikh Abdurrahman Nasir as-Sa’di, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal 93-94.
[4]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2002),
hal. 732.
[5] Syaikh Abdurrahman Nashir as-Sa’di, 70 kaidah penafsiran Al-Qur’an,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), hal. 97-98.
آهنگ سالگرد ازدواج
ReplyDeleteدانلود آهنگ های شاد تالار عروسی
دانلود آهنگ جدید خواننده های معروف ایرانی
آهنگ های میلاد قربانی
آهنگ های مسیح و آرش ای پی
دانلود نوحه
آهنگ های پرطرفدار جدید
دانلود آهنگ جدید رادیو جوان
آهنگ های رضا مریدی
ریمیکس دی جی سونامی
Being alive in 2020 is special because that is the only year you are likely to live through wherein the first two digits will match the second two digits. The next year that follows this pattern is 2121. Happy New Year Wishes
ReplyDeleteprint prime news
ReplyDeleteworld business news
technology news updates
crypto updates
sports news now
토토
ReplyDeleteI ᴀᴍ ʀᴇᴀʟʟʏ ʜᴀᴘᴘʏ ᴛᴏ sᴀʏ ᴛʜᴀᴛ I ᴅᴇᴇᴘʟʏ ʀᴇᴀᴅ ʏᴏᴜʀ ᴀʀᴛɪᴄʟᴇ.
스포츠중계 Thank you for the very useful information.
ReplyDeleteʸᵒᵘ’ʳᵉ ʳᵉᵃˡˡʸ ᵃ ᵍᵒᵒᵈ ʷᵉᵇᵐᵃˢᵗᵉʳ‧ ᵀʰᵉ ˢⁱᵗᵉ ˡᵒᵃᵈⁱⁿᵍ ˢᵖᵉᵉᵈ ⁱˢ ⁱⁿᶜʳᵉᵈⁱᵇˡᵉ‧ 스포츠토토
ReplyDelete슬롯
ReplyDeleteʸᵒᵘʳ ʷᵉᵇˢⁱᵗᵉ ⁱˢ ʳᵉᵃˡˡʸ ᶜᵒᵒˡ ᵃⁿᵈ ᵗʰⁱˢ ⁱˢ ᵃ ᵍʳᵉᵃᵗ ⁱⁿˢᵖⁱʳⁱⁿᵍ ᵃʳᵗⁱᶜˡᵉ‧
Thanks for sharing. This is a nice blog. Visit crystal shops near me and you can find many crystals. There are several well-known benefits of wearing and using crystals, accepted by many people and spiritual practitioners globally.
ReplyDelete