A. PENDAHULUAN
Dalam
perjalanan sejarah Islam, para ulama mengembangkan berbagai teori,
metode, dan prinsip hukum yang sebelumnya tidak dirumuskan secara
sistematis, baik dalam Alquran maupun as-Sunnah. Upaya para ulama
tersebut berkaitan erat dengan tuntutan realita sosial yang semakin hari
semakin kompleks. Berbagai persoalan baru bermunculan yang sebelumnya
tidak dibahas secara spesifik dalam Alquran dan Hadits Nabi.
Di antara metode penetapan hukum yang dikembangkan para ulama adalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Metode sadd adz-dzari’ah merupakan
upaya preventif agar tidak terjadi sesuatu yang menimbulkan dampak
negatif. Metode hukum ini merupakan salah satu bentuk kekayaan khazanah
intelektual Islam yang –sepanjang pengetahuan penulis–tidak dimiliki
oleh agama-agama lain. Selain Islam, tidak ada agama yang memiliki
sistem hukum yang didokumentasikan dengan baik dalam berbagai karya yang
sedemikian banyak.
Hukum
Islam tidak hanya mengatur tentang perilaku manusia yang sudah
dilakukan tetapi juga yang belum dilakukan. Hal ini bukan berarti bahwa
hukum Islam cenderung mengekang kebebasan manusia. Tetapi karena memang
salah satu tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan kemaslahatan dan
menghindari kerusakan (mafsadah). Jika suatu perbuatan yang belum dilakukan diduga keras akan menimbulkan kerusakan (mafsadah), maka dilaranglah hal-hal yang mengarahkan kepada perbuatan tersebut. Metode hukum inilah yang kemudian dikenal dengan sadd adz-dzari’ah. Sebaliknya,
jika suatu perbuatan diduga kuat akan menjadi sarana terjadinya
perbuatan lain yang baik, maka diperintahkanlah perbuatan yang menjadi
sarana tersebut. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fath adz-dzariah.
B. PENGERTIAN SADDU DZARI’AH
1. Secara Etimologis
Kata sadd adz-dzari’ah (سد الذريعة) merupakan bentuk frase (idhafah) yang terdiri dari dua kata, yaitu sadd (سَدُّ ) dan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة). Secara etimologis, kata as-sadd (السَّدُّ) merupakan kata benda abstrak (mashdar) dari سَدَّ يَسُدُّ سَدًّا. Kata as-sadd tersebut berarti menutup sesuatu yang cacat atau rusak dan menimbun lobang.[1] Sedangkan adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) merupakan kata benda (isim) bentuk tunggal yang berarti jalan, sarana (wasilah)[2] dan sebab terjadinya sesuatu.[3] Bentuk jamak dari adz-dzari’ah (الذَّرِيْعَة) adalah adz-dzara’i (الذَّرَائِع).[4] Karena itulah, dalam beberapa kitab usul fikih, seperti Tanqih al-Fushul fi Ulum al-Ushul karya al-Qarafi,[5] istilah yang digunakan adalah sadd adz-dzara’i.[6]
Pada awalnya, kata adz-adzari’ah dipergunakan
untuk unta yang dipergunakan orang Arab dalam berburu. Si unta
dilepaskan oleh sang pemburu agar bisa mendekati binatang liar yang
sedang diburu. Sang pemburu berlindung di samping unta agar tak terlihat
oleh binatang yang diburu. Ketika unta sudah dekat dengan binatang yang
diburu, sang pemburu pun melepaskan panahnya. Karena itulah, menurut
Ibn al-A’rabi, kata adz-dzari’ah kemudian digunakan sebagai metafora terhadap segala sesuatu yang mendekatkan kepada sesuatu yang lain.[7]
2. Secara Terminologi
Menurut al-Qarafi, sadd adz-dzari’ah adalah memotong jalan kerusakan (mafsadah) sebagai cara untuk menghindari kerusakan tersebut. Meski suatu perbuatan bebas dari unsur kerusakan (mafsadah), namun jika perbuatan itu merupakan jalan atau sarana terjadi suatu kerusakan (mafsadah), maka kita harus mencegah perbuatan tersebut.[8] Dengan ungkapan yang senada, menurut asy-Syaukani, adz-dzari’ah adalah masalah atau perkara yang pada lahirnya dibolehkan namun akan mengantarkan kepada perbuatan yang dilarang (al-mahzhur).[9]
Dalam karyanya al-Muwafat, asy-Syatibi menyatakan bahwa sadd adz-dzari’ah adalah menolak sesuatu yang boleh (jaiz) agar tidak mengantarkan kepada sesuatu yang dilarang (mamnu’).[10] Menurut Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, sadd adz-dzari’ah adalah meniadakan atau menutup jalan yang menuju kepada perbuatan yang terlarang.[11]
Sedangkan menurut Ibnu al-Qayyim al-Jauziyyah, jalan atau perantara
tersebut bisa berbentuk sesuatu yang dilarang maupun yang dibolehkan.[12]
Dari beberapa contoh pengertian di atas, tampak bahwa sebagian ulama seperti asy-Syathibi dan asy-Syaukani mempersempit adz-dzariah sebagai sesuatu yang awalnya diperbolehkan. Namun al-Qarafi dan Mukhtar Yahya menyebutkan adz-dzari’ah secara umum dan tidak mempersempitnya hanya sebagai sesuatu yang diperbolehkan. Di samping itu, Ibnu al-Qayyim juga mengungkapkan adanya adz-dzari’ah yang
pada awalnya memang dilarang. Klasifikasi adz-dzariah oleh Ibnu
al-Qayyim tersebut akan dibahas lebih lanjut di halaman berikutnya.
Dari berbagai pandangan di atas, bisa dipahami bahwa sadd adz-dzari’ah adalah
menetapkan hukum larangan atas suatu perbuatan tertentu yang pada
dasarnya diperbolehkan maupun dilarang untuk mencegah terjadinya
perbuatan lain yang dilarang.
C. KEDUDUKAN SADD ADZ-DZARI’AH
Sebagaimana halnya dengan qiyas, dilihat dari aspek aplikasinya, sadd adz-dzari’ah merupakan salah satu metode pengambilan keputusan hukum (istinbath al-hukm) dalam Islam. Namun dilihat dari di sisi produk hukumnya, sadd adz-dzari’ah adalah salah satu sumber hukum.
Tidak semua ulama sepakat dengan sadd adz-dzariah sebagai
metode dalam menetapkan hukum. Secara umum berbagai pandangan ulama
tersebut bisa diklasifikasikan dalam tiga kelompok, yaitu 1) yang
menerima sepenuhnya; 2) yang tidak menerima sepenuhnya; 3) yang menolak
sepenuhnya.
Kelompok pertama,
yang menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah
mazhab Maliki dan mazhab Hambali. Para ulama di kalangan Mazhab Maliki
bahkan mengembangkan metode ini dalam berbagai pembahasan fikih dan
ushul fikih mereka sehingga bisa diterapkan lebih luas. Imam al-Qarafi
(w. 684 H), misalnya, mengembangkan metode ini dalam karyanya Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq. Begitu pula Imam asy-Syathibi (w. 790 H) yang menguraikan tentang metode ini dalam kitabnya al-Muwafaqat.
Kelompok kedua,
yang tidak menerima sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum,
adalah mazhab Hanafi dan mazhab Syafi’i. Dengan kata lain, kelompok ini
menolak sadd adz-dzari’ah sebagai metode istinbath pada kasus tertentu, namun menggunakannya pada kasus-kasus yang lain. Contoh kasus Imam Syafii menggunakan sadd adz-dzariah, adalah
ketika beliau melarang seseorang mencegah mengalirnya air ke perkebunan
atau sawah. Hal ini menurut beliau akan menjadi sarana (dzari’ah) kepada tindakan mencegah memperoleh sesuatu yang dihalalkan oleh Allah dan juga dzariah kepada
tindakan mengharamkan sesuatu yang dihalalkan oleh Allah. Padahal air
adalah rahmat dari Allah yang boleh diakses oleh siapapun.[13]
Contoh kasus penggunaan sadd adz-dzari’ah oleh
mazhab Hanafi adalah tentang wanita yang masih dalam iddah karena
ditinggal mati suami. Si wanita dilarang untuk berhias, menggunakan
wewangian, celak mata, pacar, dan pakaian yang mencolok. Dengan berhias,
wanita itu akan menarik lelaki. Padahal ia dalam keadaan tidak boleh
dinikahi. Karena itulah, pelarangan itu merupakan sadd adz-dzari’ah agar tidak terjadi perbuatan yang diharamkan, yaitu pernikahan perempuan dalam keadaan iddah.[14]
Sedangkan kasus paling menonjol yang menunjukkan penolakan kelompok ini terhadap metode sadd adz-dzari’ah adalah transaksi-transaksi jual beli berjangka atau kredit (buyu’ al-ajal). Dalam kasus jual beli transaksi berjangka, misalnya sebuah showroom
menjual mobil secara kredit selama 3 tahun dengan harga Rp. 150 juta
kepada seorang konsumen. Setelah selesai transaksi, keesokan harinya
sang konsumen membutuhkan uang karena keperluan penting dan mendesak. Ia
pun menjual beli mobil itu kepada pihak showroom. Oleh pihak showroom, mobil itu dibeli secara tunai dengan harga Rp. 100 juta.[15]
Transaksi
seperti inilah yang oleh mazhab Maliki dan Hambali dilarang karena
terdapat unsur riba yang sangat kentara. Pada kenyataannya, transaksi
jual beli tersebut adalah penjualan mobil secara kredit seharga Rp. 150
juta dan secara tunai seharga Rp. 100 juta. Barang yang diperjualbelikan
seolah sia-sia dan tidak bermakna apa-apa.[16]
Sementara bagi mazhab Hanafi, transaksi semacam itu juga dilarang. Namun mereka menolak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam pelarangan tersebut. Pelarangannya
berdasarkan alasan bahwa harga barang yang dijual tersebut belum jelas,
karena terdapat dua harga. Di samping itu, si konsumen yang menjual
kembali mobil sebenarnya juga belum sepenuhnya memiliki barang tersebut
karena masih dalam masa kredit. Dengan demikian, transaksi kedua yang
dilakukan si konsumen dengan pihak showroom adalah transaksi yang tidak sah (fasid). Perbedaan dua harga itu juga mengandung unsur riba.[17]
Bagi
mazhab Syafii, transaksi jual beli kredit seperti adalah sah secara
formal. Adapun aspek batin dari niat buruk si penjual untuk melakukan
riba, misalnya, adalah urusan dosanya sendiri dengan Allah. Yang menjadi
patokan adalah bagaimana lafaz dalam akad, bukan niat dan maksud si
penjual yang tidak tampak. Tidak boleh melarang sesuatu akad hanya
berdasarkan dugaan terhadap maksud tertentu yang belum jelas terbukti.[18]
Kelompok ketiga,
yang menolak sepenuhnya sebagai metode dalam menetapkan hukum, adalah
mazhab Zahiri. Hal ini sesuai dengan prinsip mereka yang hanya
menetapkan hukum berdasarkan makna tekstual (zahir al-lafzh). Sementara sadd adz-dzariah adalah
hasil penalaran terhadap sesuatu perbuatan yang masih dalam tingkatan
dugaan, meskipun sudah sampai tingkatan dugaan yang kuat. Dengan
demikian, bagi mereka konsep sadd adz-dzariah adalah semata-mata produk akal dan tidak berdasarkan pada nash secara langsung.
Ibnu Hazm (994-1064 M), salah satu tokoh ulama dari mazhab Zahiri, bahkan menulis satu pembahasan khusus untuk menolak metode sadd adz-dzari’ah dalam kitabnya al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam. Ia menempatkan sub pembahasan tentang penolakannya terhadap sadd adz-dzari’ah dalam pembahasan tentang al-ihtiyath (kehati-hatian dalam beragama). Sadd adz-dzari’ah
lebih merupakan anjuran untuk bersikap warga dan menjaga kehormatan
agama dan jiwa agar tidak tergelincir pada hal-hal yang dilarang. Konsep
sadd adz-dzari’ah tidak bisa berfungsi untuk menetapkan boleh
atau tidak boleh sesuatu. Pelarangan atau pembolehan hanya bisa
ditetapkan berdasarkan nash dan ijma’ (qath’i). Sesuatu yang telah jelas diharamkan oleh nash tidak bisa berubah menjadi dihalalkan kecuali dengan nash lain
yang jelas atau ijma’. Hukum harus ditetapkan berdasarkan keyakinan
yang kuat dari nash yang jelas atau ijma’. Hukum tidak bisa didasarkan
oleh dugaan semata.[19]
Contoh kasus penolakan kalangan az-Zhahiri dalam penggunaan sadd adz-dzariah adalah
ketika Ibnu Hazm begitu keras menentang ulama Hanafi dan Maliki yang
mengharamkan perkawinan bagi lelaki yang sedang dalam keadaan sakit
keras hingga dikhawatirkan meninggal. Bagi kalangan Hanafi dan Maliki,
perkawinan itu akan bisa menjadi jalan (dzari’ah) bagi wanita
untuk sekedar mendapatkan warisan dan menghalangi ahli waris lain yang
lebih berhak. Namun bagi Ibnu Hazm, pelarangan menikah itu jelas-jelas
mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas halal. Betapapun menikah dan
mendapatkan warisan karena hubungan perkawinan adalah sesuatu yang
halal.[20]
Meskipun terdapat ketidaksepakatan ulama dalam penggunaan sadd adz-dzari’ah,
namun secara umum mereka menggunakannya dalam banyak kasus. Sebagaimana
yang diungkapkan oleh Wahbah az-Zuhaili, kontroversi di kalangan empat
mazhab: Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali, hanya berpusat pada satu
kasus, yaitu jual beli kredit. Selain kasus itu, para ulama empat mazhab
banyak menggunakan sadd adz-dzari’ah dalam menetapkan berbagai hukum tertentu.
Adapun tentang mazhab Zhahiri yang menolak mentah-mentah sadd adz-dzari’ah, hal
itu karena mereka memang sangat berpegang teguh pada prinsip berpegang
kepada Kitabullah dan Sunah. Dengan kata lain, semua perbuatan harus
diputuskan berdasarkan zhahir nash dan zhahir perbuatan. Namun tentu terlalu berpegang secara tekstual kepada tekstual nash juga bisa berbahaya. Hal itu karena sikap demikian justru bisa mengabaikan tujuan syariah untuk menghindari mafsadah dan meraih mashalahah. Jika memang mafsadah jelas-jelas bisa terjadi, apalagi jika telah melewati penelitian ilmiah yang akurat, maka sadd adz-dzari’ah adalah sebuah metode hukum yang perlu dilakukan.
Dengan sadd adz-dzari’ah, timbul
kesan upaya mengharamkan sesuatu yang jelas-jelas dihalalkan seperti
yang dituding oleh mazhab az-Zahiri. Namun agar tidak disalahpahami
demikian, harus dipahami pula bahwa pengharaman dalam sadd adz-dzariah adalah karena faktor eksternal (tahrim li ghairih). Secara substansial, perbuatan tersebut tidaklah diharamkan, namun perbuatan tersebut tetap dihalalkan. Hanya karena faktor eksternal (li ghairih) tertentu, perbuatan
itu menjadi haram. Jika faktor eksternal yang merupakan dampak negatif
tersebut sudah tidak ada, tentu perbuatan tersebut kembali kepada hukum
asal, yaitu halal.
Terkait dengan kedudukan sadd adz-dzari’ah, Elliwarti Maliki, seorang doktor wanita pertama asal Indonesia lulusan al-Azhar, Kairo, menganggap bahwa sadd adz-dzari’ah merupakan metode istinbath
hukum yang mengakibatkan kecenderungan sikap defensif (mempertahankan
diri) di kalangan umat Islam. Pada gilirannya, hal ini bisa menimbulkan
ketidakberanian umat untuk berbuat sesuatu karena takut terjerumus dalam
mafsadah. Di samping itu, produk-produk fikih dengan berdasarkan sadd adz-dzari’ah cenderung menjadi bias gender. Sadd adz-dzariah menghasilkan
pandangan ulama yang melarang wanita untuk berkiprah lebih luas di
masyarakat, seperti larangan wanita ke luar rumah demi mencegah
bercampur dengan lelaki yang bukan mahram.[21]
Sinyalemen Elliwarti Maliki itu mungkin memang ada benarnya. Tapi sebenarnya yang perlu dipersalahkan bukanlah sadd adz-dzari’ah-nya, namun orang yang menerapkannya. Suatu putusan hukum yang berdasarkan sadd adz-dzariah tentu masih bisa dicek kembali bagaimana thuruq al-istinbath-nya.
Jika memang dampak negatif yang dikhawatirkan terjadi tersebut,
ternyata tidak terbukti, maka tentu saja keputusan tersebut bisa
dikoreksi kembali. Sedangkan tudingan bahwa sadd adz-dzari’ah menimbulkan sikap defensif, tentu perlu pembuktian empirik lebih lanjut.
D. DASAR HUKUM SADD ADZ-DZARI’AH
1. Alquran
Ÿwur (#q™7Ý¡n@ šúïÏ%©!$# tbqããô‰tƒ `ÏB Èbrߊ «!$# (#q™7Ý¡uŠsù ©!$# #Jrô‰tã ÎŽötóÎ/ 5Où=Ïæ 3 y7Ï9ºx‹x. $¨Yƒy— Èe@ä3Ï9 >p¨Bé& óOßgn=uHxå §NèO 4’n<Î) NÍkÍh5u‘ óOßgãèÅ_ó£D Oßgã¥Îm7t^ã‹sù $yJÎ/ (#qçR%x. tbqè=yJ÷ètƒ ÇÊÉÑÈ
Dan
janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain
Allah, Karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas
tanpa pengetahuan. Demikianlah kami jadikan setiap umat menganggap baik
pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan merekalah kembali mereka, lalu
dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka kerjakan. (QS.
al-An’am: 108).
Pada ayat di atas, mencaci maki tuhan atau sembahan agama lain adalah adz-dzari’ah yang akan menimbulkan adanya sesuatu mafsadah yang dilarang, yaitu mencaci maki Tuhan. Sesuai dengan teori psikologi mechanism defense, orang
yang Tuhannya dicaci kemungkinan akan membalas mencaci Tuhan yang
diyakini oleh orang sebelumnya mencaci. Karena itulah, sebelum balasan
caci maki itu terjadi, maka larangan mencaci maki tuhan agama lain
merupakan tindakan preventif (sadd adz-dzari’ah).
$yg•ƒr‘¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#qä9qà)s? $uZÏãºu‘ (#qä9qè%ur $tRöÝàR$# (#qãèyJó™$#ur 3 šúïÌÏÿ»x6ù=Ï9ur ë>#x‹tã ÒOŠÏ9r& ÇÊÉÍÈ
Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu katakan (kepada Muhammad):
“Raa’ina”, tetapi katakanlah: “Unzhurna”, dan “Dengarlah”. Dan bagi
orang-orang yang kafir siksaan yang pedih. (QS. al-Baqarah: 104).
Pada
surah al-Baqarah ayat 104 di atas, bisa dipahami adanya suatu bentuk
pelarangan terhadap sesuatu perbuatan karena adanya kekhawatiran
terhadap dampak negatif yang akan terjadi. Kata raa ‘ina (رَاعِنَا)
berarti: “Sudilah kiranya kamu memperhatikan kami.” Saat para sahabat
menggunakan kata ini terhadap Rasulullah, orang Yahudi pun memakai kata
ini dengan nada mengejek dan menghina Rasulullah SAW. Mereka
menggunakannya dengan maksud kata raa’inan (رَعِنًا) sebagai bentuk isim fail dari masdar kata ru’unah (رُعُوْنَة) yang berarti bodoh atau tolol.[22] Karena itulah, Tuhan pun menyuruh para sahabat Nabi SAW mengganti kata raa’ina yang biasa mereka pergunakan dengan unzhurna yang juga berarti sama dengan raa’ina. Dari latar belakang dan pemahaman demikian, ayat ini menurut al-Qurthubi dijadikan dasar dari sadd adz-dzari’ah.[23]
2. Sunah
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ مِنْ أَكْبَرِ الْكَبَائِرِ أَنْ يَلْعَنَ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قِيلَ يَا رَسُولَ اللهِ وَكَيْفَ يَلْعَنُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ يَسُبُّ الرَّجُلُ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ
Dari
Abdullah bin Amr RA, ia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Termasuk di
antara dosa besar seorang lelaki melaknat kedua orang tuanya.” Beliau
kemudian ditanya, “Bagaimana caranya seorang lelaki melaknat kedua orang
tuanya?” Beliau menjawab, “Seorang lelaki mencaci maki ayah orang lain,
kemudian orang yang dicaci itu pun membalas mencaci maki ayah dan ibu
tua lelaki tersebut.”[24]
Hadis ini dijadikan oleh Imam Syathibi sebagai salah satu dasar hukum bagi konsep sadd adz-dzari’ah. Berdasarkan hadits tersebut, menurut tokoh ahli fikih dari Spanyol itu, dugaan (zhann) bisa digunakan sebagai dasar untuk penetapan hukum dalam konteks sadd adz-dzari’ah.[25]
3. Kaidah Fikih
Di antara kaidah fikih yang bisa dijadikan dasar penggunaan sadd adz-dzari’ah adalah:
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ أَوْلَى مِنْ جَلْبِ الْمَصَالِحِ.
Kaidah
ini merupakan kaidah asasi yang bisa mencakup masalah-masalah turunan
di bawahnya. Berbagai kaidah lain juga bersandar pada kaidah ini. Karena
itulah, sadd adz-dzari’ah pun bisa disandarkan kepadanya. Hal ini juga bisa dipahami, karena dalam sadd adz-dzari’ah terdapat unsur mafsadah yang harus dihindari.
4. Logika
Secara logika, ketika
seseorang membolehkan suatu perbuatan, maka mestinya ia juga
membolehkan segala hal yang akan mengantarkan kepada hal tersebut.
Begitupun sebaliknya, jika seseorang melarang suatu perbuatan, maka
mestinya ia pun melarang segala hal yang bisa mengantarkan kepada
perbuatan tersebut. Hal ini senada dengan ungkapan Ibnu Qayyim dalam
kitab A’lâm al-Mûqi’în: ”Ketika Allah melarang suatu hal, maka
Allah pun akan melarang dan mencegah segala jalan dan perantara yang
bisa mengantarkan kepadanya. Hal itu untuk menguatkan dan menegaskan
pelarangan tersebut. Namun jika Allah membolehkan segala jalan dan
perantara tersebut, tentu hal ini bertolak belakang dengan pelarangan
yang telah ditetapkan.”[27]
E. MACAM-MACAM ADZ-DZARI’AH
Dilihat dari aspek akibat yang timbulkan, Ibnu al-Qayyim mengklasifikasikan adz-dzari’ah menjadi empat macam, yaitu:[28]
1. Suatu perbuatan yang memang pada dasarnya pasti menimbulkan kerusakan (mafsadah). Hal
ini misalnya mengonsumsi minuman keras yang bisa mengakibatkan mabuk
dan perbuatan zina yang menimbulkan ketidakjelasan asal usul keturunan.
2. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan atau dianjurkan (mustahab), namun secara sengaja dijadikan sebagai perantara untuk terjadi sesuatu keburukan (mafsadah). Misalnya menikahi perempuan yang sudah ditalak tiga agar sang perempuan boleh dikawini (at-tahlil). Contoh lain adalah melakukan jual beli dengan cara tertentu yang mengakibatkan muncul unsur riba.
3. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun tidak disengaja untuk menimbulkan suatu keburukan (mafsadah), dan pada umumnya keburukan itu tetap terjadi meskipun tidak disengaja. Keburukan (mafsadah) yang kemungkinan terjadi tersebut lebih besar akibatnya daripada kebaikan (maslahah) yang diraih. Contohnya adalah mencaci maki berhala yang disembah oleh orang-orang musyrik.
4. Suatu perbuatan yang pada dasarnya diperbolehkan namun terkadang bisa menimbulkan keburukan (mafsadah). Kebaikan
yang ditimbulkan lebih besar akibatnya daripada keburukannya. Misalnya,
melihat perempuan yang sedang dipinang dan mengkritik pemimpin yang
lalim.
Sedangkan dilihat dari aspek kesepakatan ulama, al-Qarafi dan asy-Syatibi membagi adz-dzari’ah menjadi tiga macam, yaitu:
1. Sesuatu
yang telah disepakati untuk tidak dilarang meskipun bisa menjadi jalan
atau sarana terjadinya suatu perbuatan yang diharamkan. Contohnya
menanam anggur, meskipun ada kemungkinan untuk dijadikan khamar; atau
hidup bertetangga meskipun ada kemungkinan terjadi perbuatan zina dengan
tetangga.
2. Sesuatu
yang disepakati untuk dilarang, seperti mencaci maki berhala bagi orang
yang mengetahui atau menduga keras bahwa penyembah berhala tersebut
akan membalas mencaci maki Allah seketika itu pula. Contoh lain adalah
larangan menggali sumur di tengah jalan bagi orang yang mengetahui bahwa
jalan tersebut biasa dilewati dan akan mencelakakan orang.
3. Sesuatu
yang masih diperselisihkan untuk dilarang atau diperbolehkan, seperti
memandang perempuan karena bisa menjadi jalan terjadinya zina; dan jual
beli berjangka karena khawatir ada unsur riba.[29]
F. PERBEDAAN ADZ-DZARI’AH DENGAN MUQADDIMAH
Wahbah az-Zuhaili membedakan antara adz-dzari’ah dengan muqaddimah. Beliau mengilustrasikan bahwa adz-dzariah adalah laksana tangga yang menghubungkan ke loteng. Sedangkan muqaddimah adalah laksana fondasi yang mendasari tegaknya dinding.[30]
Dengan demikian, adz-dzariah
dititikberatkan kepada bahwa ia sekedar sarana dan jalan untuk
mengantarkan kepada perbuatan tertentu yang menjadi tujuannya. Ia bisa
menjadi suatu perbuatan terpisah yang berdiri sendiri. Sedangkan muqaddimah dititikberatkan kepada bahwa ia merupakan suatu perbuatan hukum yang memang bagian dari rangkaian perbuatan hukum tertentu. Muqaddimah merupakan perbuatan pendahuluan yang merupakan bagian tak terpisahkan dari rangkaian perbuatan. Misalnya, sa’i merupakan sesuatu perbuatan pendahuluan yang diwajibkan dalam rangkaian haji. Sementara itu, haji sendiri merupakan kewajiban.
G. FATHU ADZ-DZARI’AH
Kebalikan dari sadd adz-dzari’ah adalah fath adz-dzari’ah. Hal ini karena titik tolak yang digunakan adalah adz-dzari’ah. Dalam mazhab Maliki dan Hambali, adz-dzari’ah memang ada yang dilarang dan ada yang dianjurkan. Hal
ini diungkapkan oleh al-Qarafi yang notabene dari mazhab Malik dan Ibnu
al-Qayyim al-Jauzi yang notabene dari mazhab Hambali. Adz-dzari’ah adakalanya dilarang sehingga pelarangan itu disebut sadd adz-dzari’ah; adakalanya dianjurkan atau diperintahkan sehingga anjuran atau perintah itu disebut fath adz-dzari’ah.[31]
Secara terminologis, bisa dipahami bahwa fath adz-dzari’ah adalah menetapkan hukum atas suatu perbuatan tertentu yang pada dasarnya diperbolehkan, baik dalam bentuk membolehkan (ibahah), menganjurkan (istihab), maupun mewajibkan (ijab) karena perbuatan tersebut bisa menjadi sarana terjadinya perbuatan lain yang memang telah dianjurkan atau diperintahkan.
Contoh dari fath adz-dzari’ah adalah
bahwa jika mengerjakan shalat Jum’at adalah wajib, maka wajib pula
berusaha untuk sampai ke masjid dan meninggalkan perbuatan lain. Contoh
lain adalah jika menuntut ilmu adalah sesuatu yang diwajibkan, maka
wajib pula segala hal yang menjadi sarana untuk tercapai usaha menuntut
ilmu, seperti membangun sekolah dan menyusun anggaran pendidikan yang
memadai.
Namun yang juga harus digarisbawahi adalah bahwa betapapun adz-dzariah
(sarana) lebih rendah tingkatannya daripada perbuatan yang menjadi
tujuannya. Pelaksanaan atau pelarangan suatu sarana tergantung pada
tingkat keutamaan perbuatan yang menjadi tujuannya.[32]
Pembahasan tentang fath adz-dzariah tidak mendapat porsi yang banyak di kalangan ahli ushul fiqih. Hal itu karena fath adz-dzariah hanyalah hasil pengembangan dari konsep sadd adz-dzari’ah. Sementara sadd adz-dzari’ah sendiri tidak disepakati oleh seluruh ulama sebagai metode istinbath hukm. Hal itu karena bagi sebagian mereka, terutama di kalangan ulama Syafi’iyyah, masalah sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah masuk dalam bab penerapan kaidah:
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إلاَّ بِهِ فَهُوَ وَاجِبٌ
Jika
suatu kewajiban tidak sempurna dilaksanakan tanpa suatu hal tertentu,
maka hal tertentu itu pun wajib pula untuk dilaksanakan .[33]
Kaidah tersebut berkaitan pula dengan masalah muqaddimah (pendahuluan)
dari suatu pekerjaan yang telah dibahas sebelumnya. Hal ini pula yang
menjadi salah satu faktor yang membuat perbedaan pendapat ulama terhadap
kedudukan sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzari’ah. Apa yang dimaksudkan adz-dzari’ah oleh ulama Maliki dan Hambali, ternyata bagi ulama Syafi’i adalah sekedar muqaddimah.
H. CARA MENENTUKAN ADZ-DZARIAH
Guna menentukan apakah suatu perbuatan dilarang atau tidak, karena ia bisa menjadi sarana (adz-dzariah) terjadinya suatu perbuatan lain yang dilarang, maka secara umum hal itu bisa dilihat dari dua hal, yaitu:[34]
1. Motif
atau tujuan yang mendorong seseorang untuk melaksanakan suatu
perbuatan, apakah perbuatan itu akan berdampak kepada sesuatu yang
dihalalkan atau diharamkan. Misalnya, jika terdapat indikasi yang kuat
bahwa seseorang yang hendak menikahi seorang janda perempuan talak tiga
adalah karena sekedar untuk menghalalkan si perempuan untuk dinikahi
oleh mantan suaminya terdahulu, maka pernikahan itu harus dicegah.
Tujuan pernikahan tersebut bertentangan dengan tujuan pernikahan yang
digariskan syara’ yaitu demi membina keluarga yang langgeng.
2. Akibat
yang terjadi dari perbuatan, tanpa harus melihat kepada motif dan niat
si pelaku. Jika akibat atau dampak yang sering kali terjadi dari suatu
perbuatan adalah sesuatu yang dilarang atau mafsadah, maka
perbuatan itu harus dicegah. Misalnya, masalah pemberian hadiah
(gratifikasi) yang diawasi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Berdasarkan beberapa peristiwa yang sebelumnya terjadi, seorang pejabat
yang mendapat hadiah kemungkinan besar akan mempengaruhi keputusan atau
kebijakannya terhadap si pemberi hadiah. Karena itulah, setiap pemberian
hadiah (gratifikasi) dalam batasan jumlah tertentu harus dikembalikan
ke kas negara oleh pihak KPK.
I. PENUTUP
Sadd adz-dzari’ah dan fath adz-dzariah adalah suatu perangkat hukum dalam Islam yang sangat bagus jika diterapkan dengan baik, sesuai dengan rambu-rambu syara’, Keduanya
bisa menjadi perangkat yang betul-betul bisa digunakan untuk
menciptakan kemaslahatan umat dan menghindarkan kerusakan umat. Apalagi
jika diterapkan oleh penguasa yang memang hendak menciptakan kesalehan
sosial secara luas di tengah masyarakat, bukan demi kepentingan kelompok
dan pribadinya.
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997).
Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998).
______, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003).
Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996).
Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki asy-Syathibi, al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, tt).
Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994).
Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt).
Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987).
Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt).
Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986).
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997).
Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986).
B. Program Komputer (Kitab Digital)
al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[1] Muhammad bin Mukarram bin Manzhur al-Afriqi al-Mishri, Lisan al-Arab, (Beirut: Dar Shadir, tt), juz 3, hal. 207.
[3] Abu al-Faidh Muhammad bin Muhammad bin Abd ar-Razzaq al-Husaini (al-Murtadha az-Zabidi), Taj al-Arus fi Jawahir al-Qamus, juz 1, hal. 5219 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[4] Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit.
[5] Sebagian kalangan, seperti Acep Jazuli dan Mukhtar Yahya menulis, dengan al-Qurafi. Namun Nasrun Haroen dan situs wikipedia.com menulis dengan al-Qarafi.
[6] Syihab ad-Din Abu al-Abbas al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi ‘Ilm al-Ushul, dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar li at-Turats al-Islami, (Syirkah al-Aris li Kumbiutar, tt).
[7] Ibn Manzhur, Lisanul Arab, loc. cit
[8] Al-Qarafi, Tanqih al-Fushul fi Ilm al-Ushul, loc. cit.
[9] Muhammad bin Ali asy-Syaukani, Irsyad al-Fuhul fi Tahqiq al-Haqq min ‘Ilm al-Ushul, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1994), hal. 295.
[10] Ibrahim bin Musa al-Lakhmi al-Gharnathi al-Maliki (asy-Syathibi), al-Muwafaqat fi Ushul al-Fiqh, (Beirut: Dara l-Ma’rifah, tt.), hal. juz 3, hal. 257-258.
[11] Mukhtar Yahya dan Fatchurrahman, Dasar-dasar Pembinaan Hukum Islam: Fiqh Islami, (Bandung: PT. Al-Ma’arif, 1986), hal. 347.
[12] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1996), juz 2, hal. 103.
[13] Muhammad bin Idris asy-Syafi’i, al-Umm, juz 7, hal. 249 dalam Kitab Digital al-Marji’ al-Akbar., op. cit.
[14] Abd al-Ghani al-Ghanimi ad-Dimasyqi al-Hanafi, al-Lubab fi Syarh al-Kitab, (Beirut: Dar al-Ma’rifah, 1997), juz 1, hal. 465.
[15] Contoh kasus ini dikutip dengan sedikit modifikasi dari Nasrun Haroen, Ushul Fiqh 1, (Jakarta: Logos, 1997), hal. 161.
[16] Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), hal. 892-893.
[17] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami, loc. cit.
[18] Ibid. hal. 889, 893, dan 899.
[19] Lihat, Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Ahkam fi Ushul al-Ihkam, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1998), juz 6, hal. 179-189.
[20] Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm azh-Zhahiri, al-Mahalli bi al-Atsar, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2003), juz 12, hal. 378.
[21] Lihat, “Dr. Elliwarti Maliki: Fiqh-Al-Mar’ah Perspektif Perempuan” dalam http://www.fatayat.or.id.
[22] Abu Abdillah Muhammad bin Umar bin al-Hasan bin al-Husain at-Taimi ar-Razi, Mafatih al-Ghaib (Tafsir ar-Razi), juz 2, hal. 261 dalam Kitab Digital al-Maktabah asy-Syamilah, versi 2.09.
[23] Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al-Qurthubi, al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an, juz 2, hal. 56 dalam ibid.
[24] Muhammad bin Ismail Abu Abdullah al-Bukhari al-Ja’fi, al-Jami’ ash-Shahih al-Mukhtashar, (Beirut: Dar Ibn Katsir, 1987), juz 5, hal. 2228.
[25] Asy-Syathibi, al-Muwafaqat, op. cit., juz 2, hal. 360.
[26] Jalaluddin as-Suyuthi, al-Asybah wa an-Nazhair, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), hal. 176.
[27] Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. cit.
[28] Ibid., hal. 104.
[29] Al-Qarafi, Anwar al-Buruq fi Anwa’ al-Furuq, juz 6, hal. 319 dalam Kitab Digital al-Maktabah., op. cit.; asy-Syathibi, al-Muwafat., op. cit., juz 2, hal. 390.
[30] Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 875.
[31] Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., op. cit., juz 3, hal. 46; dan Ibn al-Qayyim al-Jauziyyah, A’lam al-Muqi’in, loc. cit
[32] Al-Qarafi, Anwar al-Buruq., ibid.
[33] Muhammad bin Bahadur bin Abdullah Az-Zarkasyi, al-Bahr al-Muhith, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, tt), juz 7, hal. 358.
[34] Lihat, Wahbah az-Zuhaili, Ushul al-Fiqh al-Islami., op. cit., hal. 879-880. Contoh kasus pada poin kedua dari penulis sendiri.
$-) (h) makasih ya,,,,
ReplyDelete