I.
Pendahuluan
Dalam lingkup hukum Islam, Al-Qur’an dan Hadits adalah sumber dari hukum
Islam, sehingga semua ketentuan hukum yang dibuat oleh manusia harus sejalan
dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan/atau Hadits. Namun demikian,
adakalanya ketentuan-ketentuan dalam Al-Qur’an dan Hadits tidak serta merta
dapat diterapkan secara langsung dalam menetapkan hukum untuk menyelesaikan
suatu permasalahan. Yang dimaksud dengan hukum Islam dalam tulisan ini tidak
hanya hukum yang terkait dengan penyelesaian suatu masalah tetapi juga hukum
untuk melaksanakan suatu perbuatan, seperti shalat, puasa dan praktek jual
beli.
Ulama Ushul Fiqh sepakat bahwa Al-Qur’an dan Hadits adalah
sumber hukum Islam dimana Al-Qur’an merupakan sumber hukum utama dan tertinggi.
Disamping kedua sumber hukum tersebut, ulama Ushul Fiqh menetapkan
sumber-sumber hukum lainnya, diantaranya: ijma’, qiyas, ihtisan,
mashlahah, istishhab, ‘urf, syar’u man qoblana,
mazhab shahabi dan dzari’ah. Sumber-sumber hukum tersebut
adalah juga merupakan metode atau tata cara untuk memperoleh dalil-dalil yang
akan digunkan untuk merumuskan suatu hukm. Adanya sumber hukum selain Al-Qur’an
dan Hadits dikarenakan adanya masalah-masalah yang bersifat khusus, sedangkan
ketentuan yang ada dalam Al-Qur’an dan Hadits bersifat umum.
Sumber-sumber hukum selain Al-Qur’an dan Hadits tersebut di atas tidak
seluruhnya dapat diterima oleh seluruh ulama Ushul Fiqh secara bulat,
sumber-sumber hukum tersebut dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu yang tidak
diperdebatkan dan yang diperdebatkan. Sumber hukum yang tidak
diperdebatkan atau diterima oleh seluruh ulama adalah ijma’ dan qiyas.
Sedangkan sumber hukum yang masih menjadi perdebatan adalah sumber hukum selain
ijma’ dan qiyas. Perbedaan terjadi dikarenakan perbedaan
metode atau tata cara merumuskan hukum atas suatu perbuatan atau permasalahan,
terutama pada perbuatan atau masalah yang tidak disebutkan dan/atau diatur
secara rinci dalam Al-Qur’an dan Hadits.
II.
Rumusan
Masalah
1. Apa
pengertian Qaul shahabi ?
2. Apa
pengertian syar’u man qablana ?
3. Bagaimana
pendapat ulama’ tentang qaul shahabi ?
4. Bagaimana
pendapat ulama’ tentang syar’u man qablana ?
III.
Pembahasan
1. Pengertian qaul shahabi
Secara
bahasa qaul artinya perkataan, ucapan, sabda. Sedangkan shahabi artinya
sahabat.
Di dalam
kitabnya Tajrid Al-Shorih, Abu ‘Abbas
Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdul Lathif menerangkan bahwa pengertian sahabat
adalah[1]
Artinya:
“Orang
yang pernah menemani atau pernah melihat Nabi Muhammad SAW dalam keadaan
islam.”
Menurut pandangan Imam syafi’i, qaul
shahabi adalah fatwa-fatwa yang dikeluarkan oleh sahabat Nabi Muhammad SAW
menyangkut hukum masalah-masalah yang tidak diatur di dalam nash, baik Kitab
(Al-Qur’an) maupun Sunnah.[2]
Pengertian lain dari Mazhab shahabi adalah pendapat para sahabat
Rasulullah saw, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang
dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan
hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat
tersebut. Sedangkan yang dimaksud dengan sahabat menurut ulama Ushul Fiqh
adalah seseorang yang bertemu dengan Rasulullah SAW dan beriman kepadanya serta
hidup bersama beliau dalam kurun waktu yang panjang.[3]
Walaupun pada dasarnya para sahabat sama dengan umat Islam dari generasi
lainnya, namun dalam banyak hal mereka mempunyai kelebihan tersendiri
sehubungan dengan kebersamaannya dengan Rasulullah SAW. Al-Qur’an diturunkan
dengan bahasa yang benar-benar mereka kenal dalam kehidupannya sehari-hari.
Mereka banyak mengetahui kasus, peristiwa atau kondisi sosial yang
melatarbelakangi turunnya (asbab an-nuzul) ayat-ayat tertentu. Mereka pun
menyaksikan tindakan serta mendengar dan melaksanakan secara langsung titah
atau pengarahan Rasulullah SAW dalam berbagai kaitannya. Hal ini semua membuat
mereka lebih mampu memahami kandungan makna Al-Qur’an dan Sunnah. Selain itu,
dengan berkat pergaulan (shuhbah)-nya dengan Nabi SAW, kualitas akhlak mereka sangat
tinggi sehingga para ulama sepakat mengakui bahwa pada dasarnya mereka semua
bersifat adil.[4]
Perkataan sahabat yang tidak mendapat
reaksi (tantangan) dari sahabat yang lain adalah menjadi hujjah bagi orang
Islam. Sebab persesuaian mereka dalam suatu masalah pada masa mereka hidup
masih dekat dengan masa hidup Rasulullah SAW serta pengetahuan mereka yang
mendalam mengenai rahasia-rahasia syari’at itu adalah menjadi bukti bahwa
ucapan mereka yang tidak mendapat bantahan itu berdasarkan kepada dalil yang
qath’i dari Rasulullah SAW. Misalnya keputusan Abu Bakar r.a. perihal bagian
beberapa orang nenek yang mewarisi bersama-sama ialah seperenam harta
peninggalan yang kemudian dibagi rata antar mereka. Tidak ada sahabat yang
membantah keputusan Abu Bakar r.a. tersebut. Bahkan dalam masalah yang sama
Umar r.a. pun memutuskan demikian. Oleh karena itu, hukum yang ditetapkan oleh
sahabat Abu Bakar r.a. tersebut merupakan hukum yang wajib diikuti oleh kaum
muslimin karena tidak mendapat perlawanan dari sahabat, bahkan tidak ada
perselisihan di antara kaum muslimin dalam masalah itu.[5]
2. Pengertian syar’u man qablana
Syar’u Man Qablana secara etimologis berarti:
“Hukum yang
disyari’atkan oleh Allah SWT bagi orang-orang (umat-umat) sebelum kita”.
Yang dimaksud Syar’u Man Qablana oleh para ahli usul ialah
syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya
sebelum Nabi Muhammad saw.[6]
Pembagian Syar’u Man Qablana
1)
Hukum Syara’ yang tetap berlaku sampai
sekarang berdasarkan pada nash-nash al-Qur’an, seperti tersebut pada
surat al-Baqarah (2) ayat 183,
$yg•ƒr'¯»tƒ
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä
|=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ
ãP$u‹Å_Á9$# $yJx.
|=ÏGä. ’n?tã
šúïÏ%©!$# `ÏB
öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9
tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
183.
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana
diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.
2) Hukum Syara’ yang hanya berlaku bagi
umat dahulu saja, karena sudah di-naskh oleh al-Qur’an, seperti
tersebut pada surat al-An’am (6) ayat 146.
’n?tãur
šúïÏ%©!$# (#rߊ$yd
$oYøB§ym ¨@à2
“ÏŒ 9àÿàß
( šÆÏBur Ìs)t7ø9$#
ÉOoYtóø9$#ur $oYøB§ym
öNÎgø‹n=tæ !$yJßgtBqßsä©
žwÎ) $tB
ôMn=yJym !$yJèdâ‘qßgàß
Írr& !$tƒ#uqysø9$#
÷rr& $tB
xÝn=tG÷z$# 5OôàyèÎ/
4 y7Ï9ºsŒ Oßg»oY÷ƒz•y_
öNÍkÈŽøót7Î/ (
$¯RÎ)ur tbqè%ω»|Ás9
ÇÊÍÏÈ
146.
dan kepada orang-orang Yahudi, Kami haramkan segala binatang yang berkuku dan
dari sapi dan domba, Kami haramkan atas mereka lemak dari kedua binatang itu,
selain lemak yang melekat di punggung keduanya atau yang di perut besar dan
usus atau yang bercampur dengan tulang. Demikianlah Kami hukum mereka
disebabkan kedurhakaan mereka; dan Sesungguhnya Kami adalah Maha benar.
3)
Hukum Syara’ yang disebutkan oleh nash al-Qur’an maupun al-Sunnah,
seperti firman Allah swt. dalam surat al-Maidah (5) ayat 45.
$oYö;tFx.ur
öNÍköŽn=tã !$pkŽÏù
¨br& }§øÿ¨Z9$#
ħøÿ¨Z9$$Î/ šú÷üyèø9$#ur
Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur
É#RF{$$Î/ šcèŒW{$#ur
ÈbèŒW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur
Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur
ÒÉ$|ÁÏ% 4
`yJsù šX£‰|Ás?
¾ÏmÎ/ uqßgsù
×ou‘$¤ÿŸ2 ¼ã&©!
4 `tBur óO©9
Nà6øts† !$yJÎ/
tAt“Rr& ª!$#
y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd
tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
45.
dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa
(dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan
telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada hishasnya. Barangsiapa yang
melepaskan (hak hishas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa
baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Apabila Al-Qur’an dan Sunnah yang shohih mengkisahkan suatu hukum dan ada
dalil syar’i yang menunjukkan penghapusan hukum tersebut dan mengangkatnya dari
kita, maka juga tidak ada perbedaan pendapat bahwa hukum itu bukanlah syari’at
bagi kita berdasarkan dalil yang menghapuskannya dari kita.[7]
3.
Pendapat ulama’ tentang
Qaul Shahabi
Adapun yang masih diperselisihkan oleh para ulama ialah perkataan
sahabat yang semata-mata berdasarkan
hasil ijtihad mereka sendiri dan para sahabat tidak dalam satu pendirian.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan
sahabat itu adalah hujjah. Kata Imam Abu Hanifah: “Apabila aku tidak
mendapatkan ketentuan dari Kitab Allah dan Sunnah Rasulullah SAW maka aku
mengambil pendapat dari sahabat beliau yang kukehendaki dan meninggalkan
pendapat yang tidak ku kehendaki. Aku tidak mau keluar dari pendapat
sahabat-sahabat tersebut untuk kemudian memilih pendapat selain sahabat.”
Perkataan Imam Abu Hanifah ini dapat dipahami bahwa beliau tidak menetapkan
perkataan sahabat tertentu itu adalah sebagai hujjah. Beliau membolehkan
mengambil pendapat salah seorang sahabat yang dikehendaki akan tetapi tidak
boleh melawan pendapat keseluruhan sahabat. Oleh karena itu, mengambil qiyas
tidak diperkenankan selama masih ada fatwa dari sahabat, biarpun yang diambil
hanya pendapat salah seorang sahabat saja yang dikehendaki. Jika hukum suatu
peristiwa terdapat dua macam pendapat, maka yang demikian itu adalah merupakan
ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang ketiga dan bila ada tiga macam pendapat,
maka yang demikian itu adalah merupakan ijma’ bahwa tidak ada pendapat yang
keempat. Jadi, keluar dari pendapat mereka keseluruhan berarti keluar dari
ijma’ para sahabat.[8]
Sedangkan dalam membahas masalah ini Al-Syafi’i membagi fatwa-fatwa
sahabat kepada tiga kelompok:
1. Pendapat yang memperoleh kesepakatan (ijma’) di kalangan mereka.
Ini jelas mengikat dan harus dijadikan hujjah.
2. Pendapat yang beragam dan tidak mencapai kesepakatan. Tentang
ini, menurut al-Syafi’i harus dilakukan tarjih dengan mempedomani dalil-dalil.
Yang harus diambil ialah pendapat yang sesuai dengan Kitab, Sunnah, ijma’, atau
didukung oleh qiyas yang lebih shahih.
3. Pendapat yang dikeluarkan oleh seorang sahabat saja tanpa
dukungan ataupun bantahan dari sahabat lainnya.
Dengan memandang jenis masalahnya, qaul shahabi seperti ini sebenarnya
masih dapat dibagi kepada dua golongan, yaitu yang tidak merupakan lapangan
ijtihad, dan yang termasuk lapangan ijtihad.
Mengenai ini, ditemukan beberapa pernyataan Al-Syafi’i yang tidak sama
sehingga para ulama ushul fiqh masih berbeda pendapat tentang pendirian
al-Syafi’i yang sebenarnya mengenai kehujjahan qaul shahabi, khususnya yang
menyangkut masalah-masalah ijtihady.
Al-Ghazali mengutip bahwa pada kitab Ikhtilaf al-Hadits al-Syafi’i
mengemukakan adanya riwayat bahwa pada suatu malam Ali melakukan salat enam
raka’at dengan enam kali sujud pada tiap-tiap raka’atnya. Kemudian al-Syafi’i
berkata,” Kalau saja riwayat tentang perbuatan ‘Ali itu shahih, niscaya saya
akan mengamalkannya, sebab masalahnya tidak termasuk lapangan qiyas.
Jadi, tentu ia melakukan hal itu berdasarkan tauqif (penetapan) dari Nabi SAW.”
Dengan ini, al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya bahwa dalam
masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau ijtihad, qaul
shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang termasuk lapangan
ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat tidak mengikat bagi
sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas mengeluarkan pendapatnya
masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula mengikuti salah satu dari
pendapat yang ada.[9]
4.
Pendapat ulama’ tentang Syar’u
Man Qablana
Adapun yang diperselisihkan oleh para ulama itu ialah bila hukum yang
diterangkan oleh Allah dan Rasul-Nya itu tidak ada nash yang menunjukkan bahwa
hal itu diwajibkan bagi kita sebagaimana halnya diwajibkan juga bagi mereka
atau bahwa hukum itu telah dihapuskan. Misalnya firman Allah:
ô`ÏB
È@ô_r&
y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4’n?tã
ûÓÍ_t/
Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î)
¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs%
$G¡øÿtR ÎŽötóÎ/
C§øÿtR
÷rr&
7Š$|¡sù ’Îû ÇÚö‘F{$#
$yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs%
}¨$¨Z9$#
$Yè‹ÏJy_
ô`tBur
$yd$uŠômr&
!$uK¯Rr'x6sù
$uŠômr& }¨$¨Y9$#
$Yè‹ÏJy_
4 ô‰s)s9ur
óOßgø?uä!$y_
$uZè=ߙ①ÏM»uZÉit7ø9$$Î/
¢OèO
¨bÎ)
#ZŽÏWx.
Oßg÷YÏiB
y‰÷èt/
šÏ9ºsŒ ’Îû ÇÚö‘F{$#
šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ
32. oleh karena itu Kami
tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh
seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan
karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh
manusia seluruhnya. dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia,
Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan
Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Dalam masalah semacam itu jumhur
ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah memandangnya sebagai
syari’at yang harus diikuti oleh orang Islam, sepanjang tidak ada dalil
yang membatalkannya. Sebab hukum itu merupakan hukum Ilahi yang telah
disyariatkan melalui para Rasul-Nya dan
tidak ada dalil yang menasakhkannya. Atas dasar itu, menurut pendapat jumhur
Hanafiyah, orang Islam yang membunuh orang dzimmi atau orang laki-laki yang
membunuh orang perempuan harus dihukum qishash, berdasarkan hukum yang telah
disyari’atkan oleh Allah SWT kepada kaum Bani Israil. Yaitu siapa yang membunuh
seorang manusia harus dibunuh pula, dengan tidak membedakan antara dzimmi atau
bukan dan antara laki-laki atau perempuan. Syari’at yang berlaku pada
orang-orang Bani Israil tersebut masih tetap berlaku bagi ummat Islam, karena
Al-Qur’an menyebutkannya secara mutlak “annannafsa bin-nafsi” (jiwa dengan
jiwa) dan tidak ada dalil yang membatalkan atau mengkhususkannya.[10]
Sebagian ulama menyatakannya bukan
sebagai syari’at bagi ummat Islam. Sebab syari’at kita adalah menasakh
(membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan kepada ummat
sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syari’at
kita.
IV.
Kesimpulan
Pengertian lain dari Mazhab shahabi adalah pendapat para sahabat
Rasulullah saw, yaitu pendapat para sahabat atas suatu permasalahan yang
dinukil para ulama baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum. Dimana ayat dan
hadits tidak menjelaskan hukum atas permasalahan yang dihadapi oleh para sahabat
tersebut.
Yang dimaksud Syar’u Man Qablana oleh para ahli usul ialah
syari’at yang diturunkan oleh Allah Swt melalui Nabi-nabi atau Rasul-rasul-Nya
sebelum Nabi Muhammad saw.
Pembagian syar’u man qablana:
1.
Hukum Syara’ yang tetap berlaku
sampai sekarang berdasarkan pada nash-nash al-Qur’an.
2.
Hukum Syara’ yang hanya berlaku
bagi umat dahulu saja, karena sudah di-naskh oleh al-Qur’an.
3.
Hukum Syara’ yang disebutkan oleh nash
al-Qur’an maupun al-Sunnah.
Imam Abu Hanifah beserta rekan-rekannya berpendapat bahwa perkataan
sahabat itu adalah hujjah. Sedangkan al-Syafi’i jelas menyatakan pendiriannya
bahwa dalam masalah-masalah yang tidak termasuk lapangan qiyas atau
ijtihad, qaul shahabi dianggap sebagai hujjah. Adapun mengenai masalah yang
termasuk lapangan ijtihad, telah disepakati bahwa pendapat seorang sahabat
tidak mengikat bagi sahabat lainnya. Mereka yang mampu berijtihad bebas
mengeluarkan pendapatnya masing-masing dan yang tidak mujtahid bebas pula
mengikuti salah satu dari pendapat yang ada.
Jumhur
ulama Hanafiyah, sebagian ulama Malikiyah dan ulama Syafi’iyah memandang syar’u
man qablana sebagai syari’at yang harus diikuti oleh orang Islam,
sepanjang tidak ada dalil yang membatalkannya. Sedangkan Sebagian ulama
menyatakannya bukan sebagai syari’at bagi ummat Islam. Sebab syari’at kita
adalah menasakh (membatalkan) syari’at yang telah ditetapkan kepada ummat
sebelum kita. Kecuali ada dalil yang menetapkannya sebagai syari’at
kita.
V. Penutup
Demikianlah
makalah yang dapat saya uraikan. Saya menyadari bahwa dalam penyusunan makalah
ini masih banyak kekurangan. Karena sesungguhnya kesempurnaan itu milik Allah
dan kekurangan adalah bagian dari kita. Oleh karena itu, kami mengharapkan
kritik dan saran yang membangun untuk memperbaiki makalah berikutnya. Semoga
memberi manfaat bagi kita semua. Aamiin. Terima kasih.
[1]
Abu ‘Abbas Zainuddin Ahmad bin Ahmad bin Abdul Lathif, Tajrid al-Shorih, juz II,
hal 55
[2] Lahmudin Nasution, Pembaharuan Hukum Islam dalam Madzhab
Syafi’i, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, 2001. hal.135
[3]
http://ekoputranto.blogdetik.com/hukum-islam/,
tanggal 28 nopember 2011 pukul 20:37
[4]
Lahmudin Nasution, Op.cit, hal 135-136
[5]
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Dasar-dasar
Pembinaan Hukum Fiqh Islami, Bandung, PT Almaarif,1983. hal.117
[6]
http://ghoffar.staff.umy.ac.id/?p=17&cpage=1#comment-23779
tanggal 28 nopember 2011 pukul 20:45
[7]
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Jakarta:
Dina Utama Semarang (Toha Putra Group), 1994. hal.131
[8]
Mukhtar Yahya dan Fatchur Rahman, Op. Cit, hal 117-118
[9]
Lahmudin Nasution, Log. Cit, hal 136-137
[10]
Mukhtar Yahya, Log. Cit., hal 116
x-) thank for you,,,,
ReplyDelete