Jawab:
Merupakan kewajiban bagi penduduk suatu daerah yang siang atau malamnya sangat
panjang untuk melakukan shalat lima
waktu berdasarkan perkiraan, jika disana tidak terdapat tergelincir atau
terbenamnya matahari dalam jangka waktu dua puluh empat jam. Terdapat riwayat
yang shahih dari Rasulullah r berdasarkan hadits Nawwas bin Sam’an dalam shahih Muslim tentang hari
pada saat datangnya Dajjal yang digambarkan bagaikan setahun, sahabat bertanya
kepada Rasulullah r tentang hal tersebut, maka beliau bersabda: “Perkirakanlah ukuran
(waktunya)” demikian pula dengan hari yang keduanya, yaitu sehari bagaikan
sebulan. Demikian pula yang seharinya bagaikan seminggu. Adapun wilayah yang
siangnya sangat pendek atau siangnya sangat panjang atau sebaliknya maka
hukumnya jelas, yaitu mereka shalat sebagaimana pada hari-hari umumnya meskipun
siang atau malamnya sangat pendek berdasarkan umumnya dalil.
2.
Sebagian orang ada yang shalat fardhu
dalam keadaan terbuka kedua bahunya,
khususnya pada saat pelaksanaan ibadah haji, yaitu saat mengenakan pakaian ihram. Apakah hukumnya?
jawab: jika dia tidak mampu menghindarinya,
maka tidak mengapa baginya hal yang
demikian itu berdasarkan firman Allah ta’ala:






“Bertakwalah kalian semampu kalian”
(At-Taghabun 16 )
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r, dari Jabir bin Abdullah y :
(( إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ كَانَ
ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ ))
متفق عليه.
“Jika bajunya lebar maka berselimutlah dengannya dan jika
bajunya sempit maka jadikanlah sebagai kain sarung”
(Muttafaq Alaih)
Adapun jika dia mampu untuk menutup
kedua bahunya atau salah satu diantara keduanya, maka wajib baginya untuk
menutup keduanya atau salah satu diantara keduanya menurut salah satu pendapat
ulama yang lebih kuat, jika hal tersebut dia abaikan maka shalatnya tidak sah,
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( لاَ يُصَلِّي أَحَدُكُمْ فِيْ الثَّوْبِ الوَاحِدِ لَيْسَ عَلَى
عَاتِقِهِ مِنْهُ شَيْءٌ )) متفق عليه.
“Janganlah salah seorang diantara kalian shalat dengan
mengenakan satu baju yang tidak terdapat diatas bahunya sesuatu apapun “ (Muttafaq alaih)
3.
Sebagian orang ada yang terlambat shalat Fajar (Shubuh) hingga waktu Isfar
(mendekati terbitnya matahari) dengan alasan bahwa hal tersebut berdasarkan
hadits:
أَسْفِرُوا بِالْفَجْرِ فَإِنَّهُ أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
“Lakukanlah (shalat) Fajar pada saat mendekati
terbitnya matahari, karena sesungguhnya hal tersebut sangat besar pahalanya "Apakah hadits tersebut shahih? dan bagaimana
menggabungkannya dengan hadits: “(Amal
yang paling utama adalah shalat pada waktunya) “?
Jawab: Hadits yang disebutkan adalah
hadits shahih, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang
shahih dari Rafi’ bin Khudaij t, dan hal tersebut tidak bertentangan dengan hadits shahih yang
menunjukkan bahwa Rasulullah r shalat Shubuh pada saat hari masih gelap, begitu juga tidak bertentangan
dengan hadits “(amal yang paling utama adalah) shalat pada waktunya” , akan
tetapi makna yang dimaksud menurut jumhur ulama adalah, menunda shalat fajar
sampai jelas datangnya waktu fajar, kemudian dilaksanakan sebelum hilangnya
kegelapan sebagaimana dahulu Rasulullah r melakukannya, cuma saja saat di Muzdalifah (saat melaksanakan
ibadah haji) diutamakan untuk melakukannya lebih cepat, yaitu saat terbitnya
fajar, sebagaimana perbuatan Rasulullah r pada saat haji Wada’.
Dengan demikian hadits-hadits yang
shahih tersebut dapat digabungkan tentang saat pelaksanakan shalat Fajar, akan
tetapi semua itu hanyalah masalah keutamaan (afdhaliah).
Dan boleh mengakhirkan shalat shubuh
sampai sesaat sebelum terbitnya matahari, sebagaiman hadits Rasulullah r:
(( وَقْتُ الْفَجْرِ مِنْ طُلُوْعِ الْفَجْرِ مَالَمْ تَطْلُعِ
الشَّمْسُ ))
“Waktu (shalat) Fajar adalah sejak
terbitnya fajar selama belum terbitnya matahari" (Riwayat Muslim dalam shahihnya dari Abdullah
bin Amr bin ‘Ash).
4. Kami menyaksikan sebagian orang ada
yang memendekkan bajunya (gamisnya) dan memanjangkan celananya, bagaimanakah
pendapat syaikh?
Jawab: Berdasarkan sunnah maka
hendaknya (ujung) pakaian yang dikenakan antara setengah betisnya hingga mata
kakinya dan tidak boleh menurunkannya hingga kebawah mata kaki, berdasarkan
hadits Rasulullah r:
(( مَا أَسْفَلَ مِنَ الْكَعْبَيْنِ مِنَ اْلإِزَارِ فَهُوَ فِي
النَّارِ ))
“Pakaian yang (menjulur) ke bawah mata kaki, maka dia berada
dalam neraka" (Riwayat Bukhari dalam As-Shahih)
Tidak ada bedanya antara celana dan
kain, kemeja dan gamis, Rasulullah r menyebutkan kain (إزار) dalam hadits tersebut sebagai perumpamaan saja bukan sebagai
pengkhususan, yang utama hendaknya pakaian yang dikenakan hanya sampai setengah
betisnya, berdasarkan hadits Rasulullah r :
(( إِزَارَةُ الْمُؤْمِنِ نِصْفُ سَاقِهِ ))
“Pakaian seorang mu’min adalah (sampai) setengah betisnya"
5. Apakah hukumnya jika diketahui
kemudian bahwa shalat yang dilakukannya tidak menghadap kiblat setelah dia
berijtihad? Apakah ada bedanya antara jika hal tersebut terjadi di negri kafir
dan negri muslim atau di tengah padang
pasir?
Jawab: Jika seorang berada dalam sebuah
perjalanan atau berada di tempat yang tidak mudah baginya untuk mengetahui arah
kiblat maka shalatnya sah, jika dia telah berijtihad untuk menetapkan arah
kiblat, dan ternyata setelah itu tidak menghadap kearah kiblat.
Adapun jika dia berada di negri muslim,
maka shalatnya tidak sah, karena memungkinkan baginya untuk bertanya siapa saja
yang dapat menunjukinya arah kiblat, sebagaimana mungkin baginya untuk
mengetahuinya dengan melihat masjid.
6. Kami mendengar banyak orang yang
melafazkan (mengucapkan) niat saat hendak shalat, apa hukumnya? apakah
perbuatan tersebut ada landasan syar’inya?
Jawab: Tidak terdapat dalil dalam
syariat tentang mengucapkan niat, tidak juga terdapat riwayat dari Nabi r dan dari para shahabat bahwa mereka mengucapkan niat saat hendak
shalat. Tempat niat hanyalah di hati, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ باِلنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ
امْرِئٍ مَا نَوَى ))
“Sesungguhnya setiap amalan berdasarkan niatnya,
dan bagi setiap
orang (dibalas sesuai) apa yang dia niatkan“(Muttafaq
alaih, dari hadits Amirul Mukminin Umar bin Khattab t ).
7. Kami menyaksikan sebagian orang yang
berdesak-desakan di Hijir Ismail agar dapat shalat didalamnya, apa hukum
melakukan shalat didalamnya? apakah terdapat keistimewaan pada perbuatan
tersebut?
Jawab: Shalat di Hijir Ismail termasuk
sunnah, karena dia bagian dari Ka’bah, dan terdapat riwayat shahih dari Nabi r, bahwa beliau masuk kedalam Ka’bah pada saat terjadinya Fathu
Makkah dan shalat didalamnya dua raka’at” (Muttafaq alaih ).
Juga terdapat riwayat dari Rasulullah r bahwa dia berkata kepada Aisyah radhialluanha, saat hendak
memasuki Ka’bah “Shalatlah dalam Hijir (Ismail), karena dia termasuk Ka’bah
".
Adapun tentang pelaksanaan shalat
fardhu, maka sebagai tindakan yang lebih hati-hati (ihtiyath) tidak
dilaksanakan didalam Ka’bah atau dalam Hijir Isma’il, karena Rasulullah r tidak melakukan hal tersebut, bahkan sebagian ulama ada yang
berkata, perbuatan tersebut tidak sah karena dia termasuk Baitullah.
Dengan demikian dapat diketahui bahwa
pelaksanaan shalat fardhu hendaknya dilakukan di luar Ka’bah dan Hijir Ismail,
sebagai tindakan mencontoh Rasulullah r dan keluar dari perbedaan pendapat para ulama yang mengatakannya
tidak sah. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
8. Sebagian wanita tidak dapat
membedakan antara darah haidh dan istihadhah, sebab kadang-kadang darah
tersebut keluar secara terus menerus, maka dia berhenti shalat selama keluarnya
darah tersebut, bagaimanakah hukum yang demikian itu?
Jawab: Haidh adalah darah yang Allah
tetapkan untuk kaum wanita setiap bulan pada umumnya, sebagaimana riwayat yang
terdapat dalam hadits shahih.
Adapun bagi wanita yang mendapatkan
istihadhah, ada tiga kondisi:
Pertama: Jika dia baru pertama kali
mengalami hal tersebut, maka hendaknya
setiap bulan -selama darah itu ada- tidak melakukan shalat, puasa dan
bersetubuh dengan suaminya sehingga datangnya masa suci, jika kondisi tersebut
(keluarnya darah) berlangsung selama lima belas hari atau kurang menurut jumhur
ulama.
Kedua: Jika keluarnya darah secara
terus menerus lebih dari lima belas hari, maka hendaknya dia menganggap dirinya
haid selama enam atau tujuh hari dengan membandingkan wanita lain yang lebih
mirip dengannya (usia atau fisiknya) dari kerabatnya jika dia tidak dapat
membedakan antara darah haid atau yang lainnya, tetapi jika dia mampu
membedakannya, maka dia tidak boleh shalat dan puasa serta bersetubuh dengan
suaminya selama mendapati darah yang dapat dibedakannya karena warnanya yang
hitam atau bau, dengan syarat, hal tersebut tidak berlangsung lebih dari lima
belas hari.
Ketiga: Jika dia memiliki waktu haid
tertentu, maka dia hitung masa haidnya selama waktu tersebut, dan setelah
berakhir dia mandi dan berwudhu setiap kali masuk waktu shalat jika darahnya
masih tetap keluar dan boleh bagi suaminya untuk menggaulinya sampai datang
waktu haid berikutnya pada bulan kemudian.
Inilah ringkasan dari beberapa hadits
nabi tentang wanita mustahadhah, dan telah diterangkan oleh Ibnu Hajar
Al-Asqalani dalam kitabnya Bulughul Maram dan Ibnu Taimiyah rahimahumallah
dalam kitab Al Muntaqa.
9. Jika seseorang tidak melakukan
shalat pada waktunya -zuhur misalnya-, kemudian dia baru ingat saat shalat Ashar sedang dilaksanakan, apakah dia
ikut berjamaah dengan niat Ashar atau
dengan niat Zuhur? Atau shalat Zuhur sendirian dahulu kemudian shalat Ashar?
Apakah
maksudnya ucapan para fuqaha' “Jika dikhawatirkan shalat yang sedang ada
waktunya tidak dapat dilakukan maka gugurlah urutannya” apakah kekhawatiran
tidak mendapatkan jama’ah menggugurkan urutan shalat?
Jawab: Yang benar menurut syariat bagi
orang yang mengalami hal tersebut, hendaknya dia shalat bersama jamaah dengan
niat shalat Zuhur, kemudian setelah itu shalat Ashar, karena wajibnya menjaga
urutan shalat (Zuhur didahulukan dari Ashar dan seterusnya), dan hal tersebut
tidak gugur hanya karena khawatir tidak mendapatkan jamaah.
Adapun ucapan para fuqaha' -rahimahumullah-
“jika dikhawatirkan keluarnya waktu shalat yang ada maka gugurlah urutannya”
maksudnya adalah: Bagi orang yang
terlewat dari waktu shalat tertentu, maka (jika ingin mengqadanya), dia harus
melakukannya sebelum melakukan shalat yang sedang ada waktunya, tetapi jika
waktu shalat tersebut sempit maka shalat yang sedang ada waktunya tersebut dia
dahulukan, misalnya: Seseorang belum melakukan shalat Isya, dan dia baru ingat sesaat sebelum terbitnya
matahari padahal saat itu dia belum shalat Shubuh, maka dia shalat Shubuh
dahulu sebelum hilang waktunya, karena waktu tersebut telah ditetapkan untuk
shalat Shubuh, setelah itu dia mengqadha shalatnya.
10. Banyak wanita yang menganggap remeh
saat melakukan shalat, ada yang tampak pergelangan tangannya atau sedikit
darinya, begitu juga dengan kakinya, bahkan kadang sebagian betisnya, apakah
shalat seperti itu sah?
Jawab: Wajib bagi seorang wanita merdeka dan baligh untuk menutup
seluruh badannya dalam shalat, kecuali wajah dan telapak tangannya, sebab semua
itu adalah aurat, jika seorang wanita shalat sementara ada yang tampak sedikit
dari auratnya, seperti betisnya, kakinya atau sebagian kepalanya maka shalatnya
tidak sah, berdasarkan hadits nabi r:
(( لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ ))
“Allah tidak menerima shalatnya wanita yang sudah haidh (baligh)
kecuali dengan khimar (penutup kepala/jilbab)”
(Riwayat Ahmad dan ahlussunan kecuali An-Nasai dengan sanad yang shahih). Yang
dimaksud wanita yang sudah haidh (حائض) adalah wanita baligh.
Juga berdasarkan hadits Rasulullah r
(( الْـمَرْأَةُ عَوْرَةٌ ))
“Wanita adalah aurat "
Juga berdasarkan riwayat Abu Daud rahimahullah
dari Ummu Salamah radhiyallahuanha, dari Rasulullah r, dia (Ummu Salamah) bertanya kepada Rasulullah r tentang wanita yang shalat dengan mengenakan baju dan kerudung
tanpa mengenakan kain, maka beliau bersabda: “jika bajunya lebar dan menutup kedua kakinya (maka
shalatnya sah)”, Al Hafiz Ibnu Hajar berkata dalam kitab Bulughul Maram, para
imam menshahihkan mauqufnya hadits ini kepada Ummu Salamah. Jika terdapat orang
yang bukan mahram didekatnya maka dia wajib juga menutup wajah dan kedua
telapak tangannya.
11. Jika seorang wanita
suci dari haidh pada waktu Ashar atau Isya, apakah dia juga harus shalat Zuhur
(bersama shalat Ashar) dan shalat Maghrib (bersama shalat Isya), dengan dasar
bahwa masing-masing shalat tersebut dapat dijama’?
Jawab: Jika seorang wanita suci dari haidh atau
nifas pada waktu Ashar maka dia wajib melakukan shalat Zuhur dan Ashar sekalian
menurut pendapat yang paling shahih dari dua pendapat ulama, karena waktu kedua
shalat tersebut pada saat ada halangan adalah satu seperti bagi musafir atau
orang sakit dan si wanita tersebut ma’zur (berhalangan) karena belum datangnya
masa suci, demikian juga jika dia suci pada
waktu Isya maka wajib baginya shalat maghrib dan Isya dengan jama’
sebagaimana yang terdahulu, dan untuk hal ini sejumlah sahabat y telah memfatwakannya.
12. Apa hukumnya shalat di
masjid jika didalamnya terdapat kuburan atau di halamannya atau di kiblatnya?
Jawab: Jika didalam masjid
terdapat kuburan, maka shalat didalamnya tidak sah, sama saja apakah kuburannya
berada dibelakang orang yang shalat atau didepannya atau disebelah kanannya
atau kirinya, berdasarkan hadits nabi r:
(( لَعَنَ اللهُ الْيَهُوْدَ وَالنَّصَارَى اتَّخَذُوا
قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ مَسَاجِدَ )) متفق عليه.
“Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani, karena mereka
menjadikan kuburan para Nabinya sebagai masjid " (Muttafaq alaih).
Juga berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( أَلاَ وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ
كَانُوا يَتَّخِذُوْنَ قُبُوْرَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيْهِمْ مَسَاجِدَ أَلاَ
فَلاَ تَتَّخِذُوْا اْلقُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ ))
“Ketahuilah bahwa orang-orang sebelum kamu telah menjadikan
kuburan para nabinya dan orang-orang shaleh sebagai masjid, ketahuilah,
janganlah kalian menjadikan masjid sebagai kuburan, sesungguhnya aku melarang
yang demikian itu"
(Riwayat Muslim dalam Ash-Shahih).
Dan karena shalat di masjid
yang terdapat kuburannya akan menjadi sarana kesyirikan dan ghuluw (pemujaan
yang berlebih-lebihan terhadap seseorang -pent) maka wajib mencegah hal seperti
itu berdasarkan kedua hadits yang telah disebutkan dan riwayat yang lainnya
yang senada serta sadduzzari’ah (menutup celah terjadinya kemunkaran/ syirik).
13. Banyak pekerja yang
mengakhirkan shalat Zuhur dan Ashar hingga malam hari dengan alasan mereka
sibuk dengan pekerjaannya atau baju mereka najis atau tidak bersih, bagaimana
pendapat Syaikh?
Jawab: Tidak boleh bagi setiap
muslim dan muslimah mengabaikan shalat fardhu dari waktunya, justru wajib bagi
mereka melaksanakannya sesuai dengan waktunya
berdasarkan kemampuannya.
Dan pekerjaan bukanlah halangan untuk
meninggalkan shalat, begitu juga baju yang najis atau kotor juga bukan
halangan.
Waktu-waktu (pelaksanaan) shalat
hendaklah disisihkan dari pekerjaan, bagi seorang pekerja pada waktu tersebut
dapat mencuci bajunya yang kena najis atau menggantinya dengan baju yang suci.
Adapun pakaian yang kotor tidak mengapa dipakai untuk shalat jika kotornya itu
bukan terdiri dari najis atau terdapat bau yang tidak sedap sehingga mengganggu
orang lain yang sedang shalat. Jika kotorannya itu mengganggu orang yang shalat
baik karena dirinya atau karena baunya, maka wajib baginya untuk mencucinya
sebelum shalat atau menggantinya dengan baju yang bersih sehingga dia dapat
melakukan shalat berjamaah.
Boleh bagi orang yang berhalangan
secara syar’i -seperti orang sakit atau musafir- untuk menggabung (jama’)
shalat Zuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya disalah satu waktu keduanya.
Sebagaimana terdapat riwayat yang shahih mengenai hal tersebut dari Rasulullah r, demikian juga boleh menjama’ pada saat hujan dan berlumpur yang
memberatkan manusia.
14. Jika seseorang mendapatkan najis
pada bajunya setelah mengucapkan salam dari shalatnya, apakah dia harus
mengulanginya?
Jawab: Siapa yang shalat sementara di
badannya atau bajunya terdapat najis sedangkan dia tidak mengetahuinya kecuali
setelah shalat, maka shalatnya shahih menurut salah satu pendapat terkuat
diantara dua pendapat para ulama, begitu
juga jika dia telah mengetahuinya terlebih dahulu kemudian lupa saat
pelaksanaan shalat dan baru ingat setelah selesai melaksanakan shalat, maka
shalatnya sah, berdasarkan firman Allah ta’ala:









“Ya Tuhan kami janganlah
Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah " (Al-Baqarah: 286 ).
Begitu juga terdapat riwayat yang shahih dari Rasulullah r, bahwa saat beliau shalat suatu hari terdapat pada terompahnya
kotoran, kemudian malaikat Jibril memberitahunya akan hal tersebut, maka beliau
melepas terompah tersebut lalu meneruskan shalatnya dan tidak mengulanginya
dari awal. Dan hal ini termasuk kemudahan dan rahmat dari Allah ta’ala kepada
hamba-Nya.
Adapun jika seseorang shalat sedangkan
dia lupa bahwa dirinya memiliki hadats, maka dia harus mengulangi shalatnya
berdasarkan kesepakatan para ulama. Sebagaimana hadits Rasulullah r :
(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طَهُوْرٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ
غُلُوْلٍ )) أخرجه مسلم في صحيحه.
“Tidak diterima shalat seseorang tanpa bersuci dan sedekah yang
berasal dari barang (hasil)tipuan"
(Riwayat Muslim dalam Shahihnya)
Begitu juga berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى
يَتَوَضَّأَ )) متفق على صحته.
“Tidak diterima shalat salah seorang diantara kamu jika dia
memiliki hadats sampai dia berwudhu”
(Muttafaq alaih).
15. Banyak orang yang melalaikan
shalat, bahkan sebagian dari mereka telah meninggalkan shalat secara total,
apakah hukum terhadap mereka itu ? Dan apakah kewajiban seorang muslim terhadap
mereka, terutama kerabat, seperti; orang tua, anak, istri, dan yang semisalnya
?
Jawab: Melalaikan shalat merupakan
kemungkaran yang besar dan termasuk sifat orang-orang munafik, sebagaimana
firman Allah ta’ala:





















“Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah
membalas tipuan mereka. Dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri
dengan malas, Mereka mermaksud riya (dengan shalat) dihadapan manusia. Dan
tidaklah mereka menyebut Allah keculali sedikit sekali" (An-Nisaa': 142).
Allah juga berfirman tatkala
menerangkan sifat-sifat mereka:


“Dan tidak ada yang menghalangi mereka untuk diterima dari
mereka nafkah-nafkahnya melainkan karena mereka kafir kepada Allah dan
Rasul-Nya dan mereka tidak mengerjakam sembahyang, melainkan dengan malas dan
tidak (pula) menafkahkan (harta) mereka, melainkan dengan rasa enggan" (At-Taubah: 54).
Rasulullah r bersabda:
(( أَثْقَلُ الصَّلاَةَ عَلَى المُنَافِقِيْنَ صَلاَةُ العِشَاءِ وَصَلاَةُ
الفَجْرِ وَلَوْ يَعْلَمُوْنَ مَا فِيْهِمَا لَأَتَوْهُمَا وَلَوْ حَبْواً )) متفق
على صحته.
“Shalat yang paling berat bagi orang munafik adalah shalat ‘Isya dan shalat Fajar (Shubuh), dan seandainya mereka mengetahui
apa yang terkandung didalamnya niscaya mereka akan mendatanginya (untuk
melakukan kedua shalat tersebut) walaupun dalam keadaan merangkak" (Muttafaq alaih).
Maka merupakan kewajiban setiap muslim
baik laki-laki ataupun perempuan untuk menjaga shalatnya yang lima waktu dan melakukannya dengan thuma’ninah
(tenang), bersegera kepadanya dan khusyu' saat melaksanakannya. Allah I berfirman:
] ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÍkÍEx|¹ tbqãèϱ»yz [
“Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman: (yaitu)
orang-orang yang khusyu’ dalam shalatnya" (Al-Mu’minun: 1-2).
Begitu juga terdapat riwayat yang kuat
dari Rasulullah r bahwa dia memerintahkan seseorang untuk mengulangi shalatnya,
karena tidak thuma’ninah. Khusus bagi kaum laki-laki agar memelihara shalat
berjamaah, bersama saudara-saudaranya di rumah-rumah Allah yaitu masjid,
berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِ فَلاَ صَلاَةَ لَهُ إِلاَّ
مِنْ عُذْرٍ )) أخرجه ابن ماجه و الدارقطنى وابن حبان والحاكم بإسناد صحيح.
"Siapa yang mendengar azan kemudian dia tidak datang (untuk
shalat berjamaah) maka tidak ada shalat baginya kecuali jika ada halangan" (Riwayat Ibnu Majah, Daruquthni, Ibnu Hibban dan Hakim dengan
sanad yang shahih).
Ibnu Abbas radiallahu'anhuma
ditanya tentang halangan apa yang dimaksud, dia menjawab:” takut dan sakit”.
Dan dalam Shahih Muslim dari Abu
Hurairah t, dari Rasulullah r, bahwa datang kepadanya seorang laki-laki yang buta seraya
berkata: “Wahai Rasulullah, tidak ada yang menuntunku ke masjid, apakah ada
keringanan bagiku untuk shalat di rumahku? maka Rasulullah r memberinya keringanan, tapi kemudian beliau memanggilnya dan
bertanya: “Apakah engkau mendengarkan seruan untuk shalat (azan)? dia
menjawab, “Ya”, beliau bersabda:”Sambutlah (dengan pergi ke masjid untuk
shalat berjamaah -pent).”
Dalam As-Shahihain dari Abu Hurairah t, dari Rasulullah r, beliau bersabda: “Aku sungguh sangat ingin sekali
memerintahkan agar shalat dilaksanakan, kemudian ada seseorang yang menjadi
imam, sementara aku bersama beberapa orang berangkat dengan membawa seikat kayu
bakar dan mendatangi sekelompok kaum yang tidak menghadiri shalat (berjamaah)
lalu aku membakar rumah-rumah mereka ".
Beberapa hadits yang shahih tersebut
menunjukkan bahwa shalat berjamaah bagi kaum laki-laki merupakan kewajiban yang
paling besar dan bagi yang meninggalkannya layak untuk mendapatkan hukuman yang
berat. Semoga Allah selalu memperbaiki keadaan kaum muslimin seluruhnya dan
memberi mereka taufiq atas segala apa yang diridhai-Nya.
Adapun meninggalkannya sama sekali atau
sebagian waktunya saja, maka menurut pendapat yang terkuat diantara dua
pendapat ulama, hal tersebut merupakan kekufuran yang besar baik pria maupun
wanita, walaupun pelakunya tidak mengingkari kewajibannya, berdasarkan hadits
Rasulullah r:
(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
))
“Antara seseorang dan kekufuran serta kemusyrikan adalah
meninggalkan shalat”. (Riwayat Imam
Muslim dalam Shahihnya).
(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا
فَقَدْ كَفَرَ ))
“Janji antara kita dengan mereka (orang kafir) adalah shalat,
siapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir". (Riwayat Imam Ahmad dan Ahlussunan yang empat dengan sanad yang
shahih) dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengannya.
Adapun orang yang mengingkari
kewajibannya baik laki-laki maupun wanita, maka sesungguhnya dia telah kafir
dengan kekufuran yang besar berdasarkan kesepakatan para ulama, walaupun dia
melakukan shalat. Semoga Allah melindungi kita dan semua kaum muslimin dari hal
tersebut, sesungguhnya Dia adalah sebaik-baik pelindung.
Merupakan kewajiban kaum muslimin
seluruhnya untuk saling menasihati dan memberi wasiat dalam kebenaran dan
saling tolong- menolong dalam kebaikan dan takwa, diantaranya adalah menasihati
orang yang tidak shalat berjamaah atau menyepelekannya bahkan sewaktu-waktu
meninggalkannya. Mengingatkan mereka akan kemurkaan dan hukuman-Nya. Dan
kewajiban kedua orang tua, saudara-saudara dan kaum kerabatnya untuk
menasihatinya secara terus menerus sehingga dia mendapatkan hidayah dari Allah I dan istiqamah di jalan-Nya. Demikian juga halnya bagi wanita yang
menyepelekan shalat atau meninggalkannya, wajib untuk dinasihati secara terus
menerus dan mengingatkannya akan kemurkaan Allah I serta hukuman-Nya dan mengucilkannya jika dia tidak
mengindahkannya padahal dia mampu melakukannya, dan menghukumnya dengan cara
yang layak. Karena semua itu adalah termasuk tolong menolong dalam kebaikan dan
takwa dan Amar ma’ruf nahi munkar yang Allah wajibkan bagi semua hamba-Nya,
baik pria ataupun wanita, berdasarkan firman Allah I:


“Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan sembahyang,
menunaikan zakat dan mereka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan
diberikan rahmat oleh Allah; sesungguhnya Allah maha perkasa lagi maha
Bijaksana. " (At-Taubah: 71).
Juga berdasrkan hadits Rasulullah r:
(( مُرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّلاَةِ لِسَبْعٍ وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا
لِعَشْرٍ وَفَرِّقُوْا بَيْنَهُمْ فِيْ المَضَاجِعِ ))
“Perintahkanlah anak kalian untuk shalat saat berusia tujuh
tahun dan pukullah mereka (jika tidak melakukan shalat) pada usia sepuluh
tahun, dan pisahkan tempat tidur mereka."
Jika anak-anak pada usia tujuh tahun
sudah diperintahkan shalat, dan boleh dipukul jika tidak melaksanakannya pada
usia sepuluh tahun, maka orang yang sudah baligh lebih utama untuk
diperintahkan shalat dan dipukul jika tidak melaksanakannya setelah dinasihati
secara terus menerus.
Adapun saling menasihati dalam
kebenaran dan kesabaran, adalah berdasarkan firman Allah I:


“Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar dalam keadaan
merugi. Kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan yang saling
nasihat menasihati dalam kebenaran dan saling nasihat menasihati dalam
kesabaran. " ( Al-‘Ashr: 1-3).
Dan siapa yang meninggalkan shalat
setelah masa baligh serta tidak menerima nasihat, maka perkaranya dibawa ke
pengadilan syar’i, agar diperintahkan untuk bertaubat, jika tidak bertaubat
maka dihukum mati. Semoga Allah memperbaiki keadaan kaum muslimin dan
memberikan kepada mereka pemahaman terhadap agamanya dan menuntun mereka untuk
saling tolong menolong dalam kebaikan dan takwa serta amar ma’ruf nahi munkar
dan saling nasihat menasihati dalam kebenaran dan kesabaran, sesungguhnya Dia
Maha Pemberi lagi Mulia.
16. Seseorang mengalami kecelakaan kendaraan
atau semisalnya sehingga ia mengalami pendarahan di otak atau tidak sadarkan
diri dalam beberapa hari, apakah wajib bagi orang tersebut meng-qadha shalatnya
jika telah sadar?
Jawab:
Jika masanya sebentar seperti tiga hari atau lebih wajib baginya
meng-qadha shalatnya, karena pingsan dalam masa seperti itu menyerupai tidur
yang tidak menggugurkan qadha, dan telah diriwayatkan dari sejumlah sahabat
-radiyallahuanhum- bahwa mereka mengalami pingsan kurang dari tiga hari, maka
mereka mengqadha (shalatnya).
Adapun jika masanya melebihi tiga hari,
maka tidak wajib baginya meng-qadha, berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( رُفِعَ القَلَمُ عَنْ ثَلاَثٍ: عَن النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ
وَالصَّغِيْرِ حَتَّى يَبْلُغَ وَالمَجْنُوْنِ حَتَّى يَفِيْقَ ))
“Al-Qalam
di angkat atas tiga perkara: Dari orang yang tertidur hingga dia bangun, anak
kecil hingga baligh, dan orang gila hingga sadar."
Adapun orang yang pingsan dalam waktu
yang lama menyerupai orang gila dalam hal hilang akalnya. Wallahu
waliyyuttaufiq.
17. Banyak orang yang sakit menganggap
remeh terhadap shalatnya dan berkata: Jika aku sembuh aku akan mengqadha
shalat, sementara sebagian lagi berkata: Bagaimana saya dapat shalat sedangkan
saya tidak dapat bersuci dan membersihkan diri dari najis. Bagaimana sebaiknya
kita mengarahkan mereka?
Jawab: Selama akal masih berfungsi,
sakit bukan halangan bagi seseorang untuk meninggalkan shalat hanya karena alasan tidak dapat
bersuci. Maka tetap merupakan kewajiban bagi orang sakit untuk shalat sesuai
dengan kemampuannya dan bersuci dengan air jika dia mampu untuk itu, jika dia
tidak mampu menggunakan air maka hendaknya dia tayammum dan shalat. Dia juga
harus menghilangkan najis yang terdapat di bajunya atau badannya dan mengganti
baju yang terdapat najis dengan baju yang suci dari najis pada saat
melaksanakan shalat, jika dia tidak mampu untuk membersihkan najis atau
mengganti baju yang terkena najis dengan baju yang suci, maka gugur baginya
semua kewajiban-kewajiban itu, maka dia dapat melakukan shalat sebagaimana
adanya, berdasarkan firman Allah I:






“Bertakwalah kamu semampu kamu”
(At-Taghabun: 15).
Dan berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( إِذَا أَمَرْتُكُمْ بِأَمْرٍ فَاتَّقُوْا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ
)) متفق عليه
“Jika aku memerintahkan sesuatu perkara, maka patuhilah semampu
kalian” (Muttafaq Alaih).
Juga hadits Rasulullah r kepada ‘Imran bin Husain –radiyallahu'anhuma- tatkala dia mengadukan
tentang penyakitnya:
(( صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ
تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ )) رواه البخاري في صحيحه ورواه النسائي بإسناد صحيح
وزاد: (( فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَمُسْتَلْقِيًا ))
“Shalatlah kamu dengan berdiri, jika tidak mampu, maka duduklah,
jika tidak mampu, maka hendaknya berbaring (dengan posisi miring bertumpu pada
sisi tubuh sebelah kanan)." (Riwayat
Bukhari dalam Shahihnya dan riwayat An-Nasai dengan sanad yang shahih dan
dengan tambahan: “ Jika tidak mampu maka terlentanglah".
18. Orang yang meninggalkan shalatnya
dengan sengaja, baik untuk satu waktu atau lebih, kemudian mendapatkan taufiq
dari Allah dan bertaubat, apakah dia mengqada shalat yang ditinggalkannya
tersebut?
Jawab: Dia tidak diharuskan mengqadha
apa yang dia tinggalkan dengan sengaja menurut pendapat yang paling kuat
diantara dua pendapat ulama, karena meninggalkannya dengan sengaja membuatnya
keluar dari wilayah Islam dan menjadikannya kelompok orang-orang kafir. Dan
orang kafir tidak diwajibkan meng-qadha shalat yang dia tinggalkan saat dia
kufur, berdasarkan hadis Rasulullah r:
(( بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الكُفْرِ وَالشِّرْكِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
)) رواه مسلم في الصحيح عن جابر بن عبد الله t
“Antara seseorang dengan kekufuran dan kesyirikan adalah
meninggalkan shalat." (Riwayat Muslim
dalam Shahihnya dari Jabir bin Abdullah t)
Dan juga berdasarkan hadits Rasulullah r:
(( العَهْدُ الَّذِيْ بَيْنَنَا
وَبَيْنَهُمْ الصَّلاَةُ فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ )) أخرجه الإمام أحمد
وأهل السنن بإسناد صحيح عن بريدة بن الحصيب t.
“Janji antara kita dengan mereka adalah shalat, maka siapa yang
meninggalkannya dia telah kafir” (Riwayat
Imam Ahmad dan Ahlussunan dengan sanad yang shahih dari Buraidah bin Al-Hushaib
t
).
Begitu juga Rasulullah r tidak memerintahkan orang-orang kafir yang masuk Islam untuk
mengqadha shalatnya yang mereka tinggalkan, begitu juga halnya dengan para
sahabat radiallahuanhum, mereka tidak memerintahkan orang-orang murtad yang
kembali masuk Islam untuk mengqadha shalatnya. Akan tetapi jika seseorang
mengqadha shalat yang dia tinggalkan dengan
sengaja tetapi dia tidak mengingkari wajibnya shalat, maka tidaklah mengapa
sebagai langkah kehati-hatian (ihtiyath) dan untuk keluar dari khilaf dengan
mereka yang berkata: ” tidak kufur karena meninggalkan shalat dengan sengaja
jika tidak mengingkari kewajibannya ” dan mereka adalah mayoritas para ulama. Wallahu
waliyyuttaufiq.
AZAN
19. Sebagian orang ada yang berkata,
"jika azan tidak dilaksanakan pada awal waktu, maka tidak perlu lagi azan,
karena fungsi azan adalah untuk memberitahu akan masuknya waktu shalat,
bagaimanakah pendapat tuan yang mulia dalam masalah ini, dan apakah azan tetap disyariatkan bagi orang yang sendirian
ditengah padang
pasir?
Jawab: Jika azan tidak dilakukan pada
awal waktu, maka tidak disyariatkan untuk azan lagi sesudahnya jika di daerah
tersebut ada mu’azzin lainnya yang telah melakukannya, adapun jika terlambatnya
sebentar saja, maka tidak mengapa untuk melakukan azan.
Adapun jika dalam suatu daerah tidak
ada mu’azzin selainnya, maka dia harus melakukan azan meskipun sudah terlambat
beberapa saat. Karena hukum azan adalah fardhu kifayah, sementara tidak ada
selainnya yang melakukannya, maka wajib baginya untuk melakukannya dan dia
bertanggung jawab untuk itu, karena orang-orang kebanyakan menantinya.
Sedangkan bagi orang yang bepergian,
maka disyariatkan baginya azan meskipun cuma sendirian. Sebagaimana terdapat
dalam hadits shahih dari Abu Sa’id t, saat dia berkata kepada seseorang: “Jika engkau berada saat
mengembala kambing atau di tempat sepi, maka angkatlah suara kalian untuk
melakukan azan, karena siapa saja yang mendengar suara mu’azzin baik jin maupun
manusia atau apa saja, mereka akan menjadi saksi baginya pada hari qiamat”.
Ucapan tersebut maushul kepada Rasulullah r. Begitu juga halnya dengan hadits-hadits yang lainnya yang secara
umum berbicara tentang disyari’atkannya azan dan keutamaan-keutamaannya.
20. Apakah wajib bagi wanita untuk
melakukan azan dan iqomat, baik dalam keadaan tidak bepergian seorang diri atau
di tanah lapang atau bersama-sama?
Jawab: Tidak disyari’atkan bagi wanita
untuk melakukan azan dan iqamat, baik dalam keadaan menetap atau bepergian,
sesungguhnya azan dan iqamat hanyalah untuk kaum laki-laki. Hal tersebut telah
dinyatakan dalam beberapa hadits shahih dari Rasulullah r.
21. Jika seseorang lupa untuk melakukan
iqamat dan kemudian melakukan shalat, apakah hal tersebut akan berpengaruh pada
hukum shalatnya, baik dia dalam keadaan sendiri atau bersama jamaah?
Jawab: Jika seseorang shalat sendirian
atau berjamaah tanpa melakukan iqamat (sebelumnya), maka shalatnya tetap sah,
dan bagi mereka yang melakukan hal tersebut hendaknya bertaubat kepada Allah I.
Begitu juga halnya jika mereka shalat
tanpa melakukan azan, maka shalatnya sah, karena azan dan iqamat termasuk
fardhu kifayah dan keduanya diluar syarat sah shalat.
Dan bagi siapa yang meninggalkan azan
dan iqamat hendaknya bertaubat kepada Allah I atas perbuatannya itu, karena fardhu kifayah jika semua orang
meninggalkannya maka seluruhnya akan berdosa, akan tetapi jika sebagian
melaksanakannya maka gugurlah kewajiban dan dosa bagi yang lainnya, baik dalam
keadaan menetap atau sedang bepergian, baik di desa atau kota atau pedalaman. Semoga Allah memberi taufiq kepada
seluruh kaum muslimin atas apa saja yang diridhai-Nya.
22. Apa dalilnya ucapan azan dalam
shalat fajar:
الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ
dan apakah pendapat tuan syaikh
terhadap mereka yang mengucapkan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل
apakah ada dalilnya?
Jawab:
Terdapat riwayat yang kuat dari Rasulullah r, bahwa beliau memerintahkan Bilal dan Abu Mahzurah tentang hal
tersebut (yaitu ucapan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ
dalam shalat shubuh), sebagaimana terdapat
dalam riwayat Anas t, bahwa beliau berkata: “Merupakan sunnah dalam azan shalat
fajar, seorang mu’azin mengucapkan الصَّلاَةُ خَيْرٌ مِن النَّوْمِ “. Kalimat ini diucapkan dalam azan yang
dikumandangkan saat terbitnya fajar menurut pendapat yang paling shahih
diantara dua pendapat para ulama dan dinamakan azan pertama jika dikaitkan
dengan iqamat, karena iqamat disebut juga azan kedua, sebagaimana hadits
Rasulullah r, بَيْنَ كُلِّ أَذَانَيْنِ
الصَّلاَةُ
(Diantara dua azan terdapat shalat), dan terdapat riwayat yang shahih
diriwayatkan oleh Bukhari dari Aisyah radiallahuanha yang menunjukkan hal
tersebut.
Adapun ucapan sebagian kalangan Syi’ah
dalam azan:
حَيَّ عَلَى خَيْرِ العَمَل , itu adalah bid’ah dan tidak terdapat
dalilnya dalam hadits-hadits yang shahih, semoga Allah memberikan petunjuk
kepada mereka dan kepada seluruh kaum muslimin untuk mengikuti sunnahnya dan
menggenggamnya erat-erat, karena itu merupakan jalan keselamatan dan
kebahagiaan bagi seluruh ummat.
23. Terdapat riwayat bahwa Rasulullah r, mengumandangkan dalam shalat Kusuf (shalat gerhana)
" الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ
",
apakah hal tersebut diucapkan sekali saja atau disyari’atkan berulang-ulang,
berapakah batasan untuk mengulanginya?
Jawab: Terdapat riwayat dari Rasulullah
r,
bahwa beliau memerintahkan untuk mengumandangkan dalam shalat Kusuf ucapan " الصَّلاَةُ جَامِعَةٌ ", Disunnahkan bagi
yang mengumandangkannya untuk mengulang-ulangnya sampai dia meyakini bahwa
orang-orang telah mendengarnya, dan tidak terdapat batasan jumlahnya
sebagaimana yang kami ketahui. Semoga Allah memberikan taufiq-Nya.
0 komentar:
Post a Comment