Pada awal kemunculannya, istilah studi Islam
dikenal dengan Islamic studies (Dirâsah Islâmiyyah). Sejak
akhir abad ke-19 hingga kini, salah satu persoalan besar yang diangkat para
pemikir muslim adalah sikap yang mesti diambil terhadap ilmu pengetahuan modern
di dunia Barat. Perdebatan mereka dilatar belakangi kesadaran bahwa dunia Islam
pernah menjadi pusat ilmu pengetahuan. Ilmu agama dalam dunia Islam telah
berlangsung sejak lama, pada masa-masa awal terutama pada masa Nabi dan
sahabat, studi Islam sudah banyak dilakukan di masjid seperti yang dilakukan di
Hijaz yang berpusat di kota Makkah dan Madinah. Sedangkan di Irak yang berpusat
di Basrah, Kufah, serta Damaskus, masing-masing daerah tersebut telah diwakili
oleh Sahabat ternama. Tetapi pada zaman modern, ilmu pengetahuan yang dimiliki
Islam telah jauh tertinggal oleh dunia Barat.
Perbincangan tentang Islam dan ilmu
pengetahuan sejak akhir abad ke-19 itu memiliki dua aspek penting. Pertama,
periode tersebut ditandai banyak perkembangan baru dalam pemikiran Islam.
Penyebab utamanya adalah kontak yang semakin intensif – pada beberapa kasus
bahkan berupa benturan fisik – antara dunia Islam dan peradaban Barat. Demikian
luasnya penyebaran gagasan baru, sehingga tak berlebihan jika dikatakan bahwa
pemikiran baru Islam lahir dari keinginan untuk menanggapinya.
Kedua, sejak awal perkembangan Islam, ilmu
-berdasarkan pengamatan, wahyu, atau renungan para sufi- sebagai induk ilmu
pengetahuan selalu mendapatkan perhatian para pemikir Muslim. Bertemu dengan
kecenderungan di atas, perhatian tersebut mengambil bentuk tanggapan terhadap
perkembangan pesat ilmu pengetahuan modern di dunia Barat, yang dianggap tidak
berinduk pada suatu ilmu yang benar. Tanggapan itu, karena lebih merupakan
reaksi daripada usaha atas prakarsa sendiri, pada diri beberapa pemikir dan
aliran pemikiran merupakan penyempitan wilayah wacana tentang ilmu dan ilmu
pengetahuan dibandingkan dengan periode sebelumnya, khususnya masa awal
perkembangan intelektual Islam.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Kajian Islam di masa klasik dan
modern
2.
Signifikansi pembaruan
(penyegaran) kajian Islam di era globalisasi
3.
Tokoh-tokoh kajian Islam di era globalisasi
C.
Analisis
1.
Kajian Islam
di Masa Klasik dan Modern
“Sejak dari asal mulanya Islam, melalui
ajaran prinsip-prinsip moral dan berlakunya hukum dalam kenyataan, pembaruan
masyarakat merupakan bagian dari inti ajaran Islam. Sungguh Islam dapat
dilukiskan sebagai gerakan pembaruan sosio-ekonomi yang didukung oleh ide
keagamaan dan etis tertentu yang sangat kuat berkenaan dengan tuhan, manusia,
dan alam raya. di Madinah, begitu keadaan mengizinkan, Nabi membentuk komunitas-negara
dengan sebuah konstitusi dan, sesuai dengan tuntunan keadaan,
perundang-undangan yang diperlukan pun di buat untuk komunitas itu, baik dalam
bentuk ordonasi dari Qur’an maupun perintah-perintah Nabi, yang biasanya tidak
di buat tanpa musyawarah dengan anggota-anggota senior komunitas..
Faktor yang paling fundamental dan dinamis
dari etika sosial yang diberikan oleh Islam adalah egalitarianisme:
semua anggota keimanan itu, tidak peduli warna kulit, ras, dan status sosial
atau ekonominya, adalah partisipan yang sama dalam komunitas.” [1]
Tragedi yang paling menyedihkan yang menimpa
masyarakat-masyarakat tradisional pada umumnya, dan masyarakat-masyarakat
muslim pada khususnya disebabkan oleh tidak adanya komunikasi dan besarnya
perbedaan pandangan antara rakyat jelata dan golongan pelajar. Dengan tersebar
luasnya media massa, pemberantasan buta huruf, dan pendidikan di negeri-negeri
barat, rakyat jelata dan kaum intelektual dapat saling memahami secara lebih
baik dan mempunyai pandangan yang relatif serupa.
Bahkan dalam sejarah awal masyarakat Islam,
kesenjangan besar yang ada sekarang ini antara kaum intelektual dan rakyat
jelata tidak ada. para cerdik-pandai tradisional muslim, kaum ulama- termasuk
para ahli hukum (fuqoha), ahli-ahli teologi dialektis (mutakallimin),
ahli-ahli tafsir (mufassirun), para filosof, dan para sastrawan (‘udaba’)-
mempunyai ikatan erat dengan masyarakat umum melalui agama. Meskipun
mengajar dan mengajar di dalam
seminar-seminar (hawzah) yang tampaknya terpisah, mereka berhasil
menghindari kerenggangan hubungan dengan rakyat.
Sayangnya, dalam kebudayaan dan sistem
pendidikan modern, kaum muda kita dididik dan dilatih di dalam benteng-benteng
yang terlindung dan tak tertembus. begitu mereka masuk kembali ke dalam
lingkungan masyarakat, mereka di tempatkan pada kedudukan-kedudukan sosial yang
sama sekali terpisah dari rakyat jelata. maka, cerdik-pandai- baru itu hidup
dan bergerak dalam arah yang sama dengan rakyat. Tetapi, di dalam suatu
“sangkar emas” lingkungan eksklusif. Akibatnya, di satu pihak kaum cerdik
pandai itu mengajarkan kehidupan yang
terpencil di atas menara gading tanpa memahami sama sekali keadaan masyarakat
mereka sendiri. dan di lain pihak, rakyat jelata yang tidak terpelajar tidak
dapat memperoleh kebijakan (hikmah) dan kaum intelektual yang sama, yang
telah mereka ongkosi (meskipun secara tidak langsung) dan mereka dukung
perkembangannya.
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an
dan Sunnah. yang disebut pertama merupakan kodifikasi yang disampaikan Allah
melalui jibril kepada Nabi Muhammad. sedangkan yang disebut kemudian merupakan
tradisi Nabi, baik yang bersifat perkataan (di sebut pula hadis) ataupun
tingkah-laku perbuatan dirinya, dimana semua itu merupakan penjelasan (tafsir)
atas ajaran-ajaran dalam al-Qur’an maupun Sunnah, menduduki posisi sentral
dalam bangunan ajaran Islam.
Pada masa Nabi, seluruh persoalan keagaman
dikembalikan kepada dirinya. jika terdapat keraguan atau ketidak jelasan dalam
memahami suatu ajaran, para sahabat dan ummat Islam mengajukan persoalannya
kepada Nabi. Karenanya, hampir dapat dikatakan, pada masa ini tidak dikenal
kerja ijtihad, yang dapat dilakukan oleh ummat Islam. Namun demikian, tidak
seluruh persoaln ijtihad menjadi tertutup. palin tidak, sampai batas teoritis,
dasar-dasar ijtihad yang telah diberikan
oleh Nabi. Karena Nabi masih hidup, sementara seluruh persoalan keagamaan
dikembalikan kepad dirinya, maka wajar jika kerja ijtihad belum dapat di lakukan
ummat Islam ketika itu. Artinya, pada awal perkembangan Islam, hany al-Qu’an
dan Sunnahlah yang menjadi satu-satunya rujukan bagi ummat Islam.
Sementara itu, tuntunan zaman dan tantangan Islam
berkembang dan berubah. sepeninggal Nabi tidak lagi terdapat pihak yang
berperan sebagai referensi keagamaan dengan kadar kebenaran yang mutlak
sifatnya. Dengan telah diberikannya dasar-dasar ijtihad oleh Nabi, maka
terhadap hal-hal yang belum jelas hukumnya dalam al-Qur’an atau Sunnah,
diusahakan untuk dapat dipahami melalui mekanisme kerja ijtihad dengan
ketentuan persyaratan tertentu. kerja ijtihad, ini mengawali tumbuhnya dinamika
pemikiran Islam, baik dalam bidang Teologi, Tasawuf, Fiqh dan lain sebagainya.
Bidang pemikiran keagamaan Islam, yang muncul
dipertengahan abad kedua hijriyyah lebih menonjolkan dimensi juris prudensi
Islam atau hukum Fiqh. Berkat kegiatan intelektual para sarjana hukum Islam
terkemuka, lahirlah empat madzhab (aliran) fiqh yang sama-sam di akui sah.
Sebagaimana terhadap bidang-bidang pemikiran Islam lainnya, oerhatian ummat Islam
terhadap madzhab-madzhab Fiqh cukup besar. hal ini dikarenakan
pemikiran-pemikiran madzhab Fiqh tersebut memiliki relevansi langsung dengan
kehidupan keagamaan ummat sehari-hari. Bahkan dalam bidang Fiqhiyyah itu seringkali mentyentuh persoalan-persoalan
ritual yag lebih praktis sifatnya. Madzhab-madzhab fiqh ini kemudian banyak
mempengaruhi pola kehidupan keamaan ummat Islam. Hingga kini, pengaruh kuat itu
masih tetap terasakan, terutama bagi mereka yang menyebut dirinya sebagai
kelompok Ahl Sunnah wa al-jama’ah, atau golongan sunni.
Kondisi masyarakat Islam di Indonesia,
sebagai mana dijelaskan dalam bab-bab terdahulu, memperlihatkan mata rantai
jelas dalam hubungannya dengan situasi perkembangan global Islam yang tidak
menyenangkan. Ummat Islam pada masa ini tenggelam dalam kejumudan (kemandegan
berfikir) terpelosok dalam kehidupan mistikisme berlebihan, di samping juga di
jajah oleh kekuasaan barat. Hampir dapat dikatakan bahwa seluruh dunia Islam
sejak abad ketujuh belas telah jauh dalam domonasin kekuasaan barat (Kristen).
situasi ini kemudian mengilhami munculnya gerakan reformasi Islam internasional
sehingga mempengaruhi sebagian masyarakat Islam Indonesia untuk melakukan
pembaruan pemikiran Islam. Untuk itu, langkah awal yang ditempuh adalah
menghilangkan pikiran-pikiran tradisional yang tidak mendukung upaya ummat
Islam dalam melepaskan diri dari kebodohan, kemiskinan, dan penjajahan.
Pada mulanya, gerakan pembaruan yang
dilakukan oleh kelompok Muslim modernis di Indonesia, timbul akibat pengaruh
gerakan pemurnian Muhammad ibn Abd
al-Wahab (1703-1778) di Jazirah Arab; perjuangan politik Pan-Islamisme
Jamaluddin Al-Afghani (1839-1897) yang merupakan perwujudan pembaruan pemikiran
politiki Islam, dalam usaha mempersatukan umat islam di seluruh dunia yang
kemudian mendapatkan kerangka ideologis dan teologis dari muridnya, yaitu
Muhammad Abduh di Mesir (1845-1905) pemabruan pemikiran Rasyid Ridha, Al-
tanthawi dan Amir Ali pembaruan pemikiran syeikh Waliyullah Al-Dahlawi, ahmad
Khan, Abu Kalam Azzad, Ali jinnah di India dan lain sebagainya. [2] Dengan
mengemukakan pendapat bahwa ajaran-ajaran Islam sepenuhnya sesuai dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan zaman .
kendatipun masing-masing bergerak pada berbagai bidang kehidupan ummat , para
atokoh pembaru itu mendorong ummat Islam untuk melakukan penelaahan ulang serta
menjelaskan kembali doktrin-doktrin
Islam dalam bahasa dan rumusan yang
dapat diterima oleh pikiran-pikiran modern.
2.
Signifikansi Penyegaran (pembaruan) Kajian
Islam di Era Globalisasi
Dorongan untuk membahas masalah ini ialah
konstatasi bahwa kaum Muslim Indonesia sekarang
ini telah mngalami kejumudan kembali dalam pemikiran dan pengembangan
ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychologycal striking force dalam perjuangannya. sebuah dilema segera
dihadapkan kepada ummat Islam: apakah
akan memilih menempuh jalan pembaharuan dalam dirinya, dengan merugikan
integrasi yang selama ini didambakan, ataukah akan mempertahankan dilakukannya
usaha-usaha ke arah integrasi itu, sekalipun dengan akibat keharusan
ditoleransinya kebekuan pemikiran dan hilangnya kekuatan-kekuatan moral yang
ampuh? tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan
pembaruan dan integrasi ialah kenyataan bahwa apabila suatu isiatif pembaruan
telah diambil oleh sebagian ummat, sebagian
yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya. Berkali-kali sejarah telah
menunjukkan kebenaran hal itu.[3]
Jika
kita telah sampai pada keputusan hendak melaksanakan pembaruan dikalangan
ummat, darimanakah kita hendak membukanya? Dalam hubungannya dengan masalah
ini, dapatlah dikemukakan sebuah sebuah ungkapan Andrew Beufre: “Our
traditional lines of though must go everboard, for it’s now far more important
to be able to look ahead then to have large scale of force whose effectiveness is
problemmatical”[4]
(garis-garis pemikiran kita yang tradisional harus dibuang jauh-jauh. Sebab,
sekarang ini, jauh lebih penting mempunyai kemampuan melihat ke depan daripada
mempunyai kekuatan dengan ukuran besar yang daya gunanya masih hrus
dipersoalkan). Peringatan bahwa suatu kelompok kecil dapat mengalahkan kelompok
besar menandaskan lebih pentingnya dinamika daripada kuantitas. Sudah tentu
yang lebih baik adalah kombinasi
keduanya.
Tetapi jika tidak mungkin, pilihan harus
dijatuhkan kepada salah satu daripada keduanya, dan hal itu haruslah dinamika.
Dari ungkapan tersebut, kita hendak menarik pengertian bahwa pembaruan harus
dimulai dengan tindakan yang saling erat hubungannya, yaitu melepaskan diri
dari nilai-nilai tradisional, dan mencari nilai-nilai yang berorientasi ke masa
depan . Nostalgia, atau orientsi dari kerinduan masa lampau yang berlebihan,
harus digantikan pandangan ke masa depan. Untuk itu, diperlukan suatu proses
libelarisasi. Proses itu dikenakan terhadap “ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan islam” yang ada sekarang ini.
3.
Tokoh-tokoh Pembaharu
Kajian Islam di Era Globalisasi
a.
Mohammed Abed
Jabiri
Mohammed Abed jabiri lahir lahir di Marokko
pada 1936. Karyanya mencakup berbagai jenis, mulai dari kronik jurnalistik
sampai risalah filsafat yang paling padat. Proyeknya yang paling penting adalah
“kritik nalar Arab” (yang ditulis dalam bahasa Arab dan terdiri dari empat
jilid, diterbitkan di Casablanca dan Beirut antara 1991 dan 2001). Ringkasan
dari karya ini telah diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis dengan judul
introduction á la critique de la raison arabe (pengantar pada kritik nalar
Arab); terjemahan dan kata pengantar dibuat oleh Mahfoud dan M.geoff-roy (Paris
: la Découverte, 1994 dan Casablanca: Le Fennec, 1995)
Mohammed Abed Jabiri (Muhammad ‘Abid
al-Jâbirî memainkan sebuah peran yang sangat penting dalam pemikiran Arab abad
ke-20. Karyanya telah menimbulkan reaksi hangat, bahkan kelewat keras dan
kasar. Pemikirannya telah telah mengakibatkan keterpihakan yang baru di
khazanah intelektual Arab. M.A. Jabiri sesungguhnya telah mengejutkan para
filsuf dengan tesis-tesisnya yang berani tentang penafsiran-penafsiran
momen-momen kunci tertentu dari pemikiran klasik. pada saat yang sama, ia telah
memikat para khayalak ramai dengan tulisan-tulisannyayang kerap muncul di pers
harian Arab.
b.
Fazlur Rahman
Fazlur Rahman lahir pada 21 September 1919,
di Distrik Hazara, Pakistan, dan
meninggal pada 1988. Ayahnya, Maulana Syihab al-Din, adalah seorang alim
(teolog-yuris Muslim) yang mendapat pendidikan di Doeband, India. Di bawah
bimbingannya, Fazlur Rahman memperoleh pendidikan dalam disiplin Tafsir,
Hadits, Kalam, dan Falsafah. pernyataan-pernyataannya mengenai reformasi dan
tulisan-tulisannya telah menimbulkan reaksi keras dari pihak tradisional, yang mendorongnya
untuk meninggalkan Pakistan pada 1968. Kemudian ia menduduki jabatan profesor
di Universitas Chicago, USA, dan mengabdikan diri pada pendidikan dan
penelitian sampai akhir hayatnya.
Di antara karya-karyanya yang diterbitkan,
antara lain :
1.
The Philosophy of Mulla Sadra Sadr
al-Din al-Shirazi (Albany: State University of New York Press,
1975).
2.
Islam (Chicago: The University of
Chicago Press, 1979).
3.
Major Theme of The Qur’an (Minneapolis:
Bibliotheca Islamica, 1980).
4.
Muhammad The Educator of Mankind (London:
Muslim School Trust, 1980).
5.
Islam and Modernity :
Transformation of an Intellectual Tradition (Chicago: The University of
Chicago Press, 1982).
6.
Revival and The Reform in Islam: A
Study of Islamic Fundamentalism (makalah-makalah yang dikumpulkan dan diberi
kata pengantar oleh Ebrahim Moosa) (Oxford: One World, 2000).
c.
Mohammad Abduh
Abduh,
demikian namanya dikenal orang. Ia lahir di tahun 1849.[5] Muhammad Abduh adalah
seorang tokoh salaf-sufi abad modern. Ia juga seorang reformer yang
menghembuskan pembaharuan pemikiran rasional lewat karya masterpiece-nya
Risalah Tauhid yang dijadikan landasan kokoh teologi modern-nya. Dia juga
seorangaktivis pergerakan yang tanpa lelah memompa semangat nasionalisme Arab.
Dan secarasekaligus ia adalah seorang teoretisi dan praktisi pendidikan Islam
dan terenyuh dengankondisi umat Islam yang serba terbelakang. Cita-cita
besarnya adalah membongkar batukarang kejumudan dengan membuka lebar-lebar
pintu ijtihad dalam rangka mengorkestrasiajaran teologi Islam sehingga
compatible dengan tuntutan zaman modern.
Ia pandai membaca dan menulis sejak kecil dan mampu
menghafal al-Qur’an dalam waktu yang cukup singkat yaituselama dua tahun. Kemudian
pada usianya yang ke-13 ia dikirim ke Tanta untuk belajar agamadi Mesjid Syekh
Ahmad. Anehnya selama dua tahun dia belajar keras bahasa Arab, nahwu, sharf,
fiqh dan sebagainya. Namun ia merasa tidak mengerti apa-apa. Abduh berkeluh “Satu
setengah tahun saya belajar di Mesjid Syekh Ahmad dengan tidak mengerti suatu
apapun. Ini adalah karena metodenya yang salah, guru-guru mulai mengajak kita
dengan menghafal istilah-istilah tentang nahwu atau fiqh yang tidak kita
ketahui artinya. Tidak penting bagi guru-guruapakah kita mengerti atau tidak
istilah-istilah tersebut.”[6] Lazimnya
metode di sekolah-sekolahagama ketika itu, semua materi agama diajarkan dengan
metode menghafal. Abduh nampaknyasangat tidak setuju dengan hal ini, sehingga
ia melarikan diri dari Tanta dan bersembunyi dirumah salah satu pamannya. Baru
tiga bulan beranjak dari pelariannya, Abduh kembali dipaksauntuk belajar ke
Tanta. Namun bagi Abduh, kembali ke Tanta adalah hal yang sia-sia karena tidak
akan ada yang akan diperolehnya di sana. Sehingga kemudian dia memilih pulang
kekampung halamannya dan berniat untuk mengabdikan dirinya sebagai seorang
petani. Dan pada usianya yang ke-16, Abduh pun kawin. Dan tepat empat puluh
hari pasca perkawinannya Abduh kembali dipaksa oleh orang tuanya untuk belajar
ke Tanta. Karena desakan tersebut, terpaksaAbduh meninggalkan kampungnya,
tetapi tujuanya bukan pergi ke Tanta melainkan bersembunyi lagi di rumah salah
satu pamannya. Beruntung bagi Abduh karena di tempat inilahia bertemu dengan
seseorang yang kemudian mampu merubah jalan hidup Abduh. Orang itubernama Syekh
Darwisy Khadr, paman dari ayah Muhammad Abduh. Syekh Darwisy terkenalsangat
alim.
Muhammad
Abduh melanjutkan pendidikan di Thanta, akan tetapi 6 bulan di Thanta
iameninggalkan Thanta dan menuju al-azhar yang diyakininya al-Azhar adalah
tempat mencari ilmu yang sesuai untuknya. Namun, disana ia juga memperoleh
kekecewaan karena ternyata ia hanya mempelajari ilmu-ilmu agama saja. Dalam
salah satu tulisannya ia melemparkan rasa kekecewaannya tersebut dengan menyatakan
bahwa metode pengajaran yang verbalis itu telah merusak akal dan daya nalarnya.
Abduh pernah menjabat Syekh atau rektor di Universitas Al-Azhar Cairo Mesir.
Pada saat itulah Abduh
melakukan pembaharuan-pembaharuan di Universitas tersebut yang membawa
dampak yang sangat luas di dunia Islam.
D. SIMPULAN
Sumber utama ajaran Islam adalah Al-Qur’an
dan Sunnah. Pembaruan Islam baik dimasa klasik maupun modern tidak lepas dari
kedua hal tersebut. Karena al-Qur’an dirancang bukan untuk suatu kaum atau
kurun tertentu, tidak sebagaimana kitab-kitab suci lain Allah, seperti: Zabur,
taurat, Injil, kehadirannya dimaksudkan sebagai petunjuk dan pedoman hidup
seluruh ummat manusia disepanjang zaman. Maka ajaran-ajaran yang dikandungnya
bersifat global dan universal.
Kaum Muslim Indonesia sekarang ini telah mengalami kejumudan kembali dalam
pemikiran dan pengembangan ajaran-ajaran Islam, dan kehilangan psychologycal
striking force dalam perjuangannya.
Dengan demikian, tidak bisa dipersatukannya (inkompatibilitas) antara keharusan
pembaruan dan integrasi ialah kenyataan bahwa apabila suatu inisiatif pembaruan
telah diambil oleh sebagian ummat, sebagian
yang lain akan mengadakan reaksi kepadanya.
Pentingnya metode pemahaman keagamaan yang
benar yang mampu menggali ajaran islam yang subsantif belum disadari oleh
sebagian besar masyarakat islam indonesia, sehingga ajaran islam mampu menjadi
solusi alternatif dalam segala situasi dan kondisi (shalih li kulli zaman wa
makan). Karena itu, dinamika pemahaman sangat penting ditengah perubahan
sosial yang dibigkai dengan metodologi pemahaman yang solid.
E.
Daftar Pustaka
Madjid Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, (Bandung:
Mizan, 2008). Cetakan pertama.
Filali-Ansary Abdou, Pembaruan Islam: Darimana dan Hendak Kemana, (bandung,
Mizan, 2009)
Ali Fachry, dan Effendy Bahtiar, merambah jalan baru islam, (Bandung, Mizan,1986)
cetakan pertama.
Dr. Pimay
H Awaludin, Lc.M.Ag dan Dr. Ilyas Supena,M.Ag, Pendekatan Study Islam (Gunung jati, 2008)
Dr. syari’ati Ali, membangun Masa Depan Islam,(Bandung:
Mizan, 1998) Cetakan kedua.
[1]
Encyclopedia Britannica, s.v. “Islam”,
[2]
Harun Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Bulan Bintang, Jakarta 1975.
[3]
Nurcholis majid, Islam Kemodenrnan dan Keindonesiaan, Hal. 225
[4]
Ibid Hal. 228
[6] Dalam biografinya Muhammad Abduh mengkritik metode
pengajaran yang diterapkan di Thanta. Metodetersebut dikatakannya sebagai
metode yang tidak peduli dan tidak memeliki empati terhadap minat dan
bakatsiswanya. Metode yang demikian menurutnya bukan memproduksi siswa yang
cakap, tetapi membuat muridnyasemakin bodoh karena tidak mengerti dengan apa
yang dihafalnya. Lihat, Muhammad Rasyid Ridha, Tarikh al-Ustaz al-Imam
al-Syaikh Muhammad ‘Abduh (Mesir: al-Manar 1931), 20.
0 komentar:
Post a Comment